Tampilkan postingan dengan label CERPENKU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPENKU. Tampilkan semua postingan

Bapak, Jangan Pergi


Aku menunggu dalam keremangan cahaya matahari yang mulai redup. Katakanlah itu senja. Waktu di mana aku selalu menunggu kedatangan Bapak dari berkebun. Bapak hanyalah seorang petani yang menggantungkan nasibnya pada hasil pertanian yang kadang mengalami gagal panen jika musim tidak mau bersahabat. Saat ini umurku sudah lima belas tahun menginjak usia remaja dan duduk di bangku SMP. Meski di usia yang sudah remaja,  aku masih bersikap seperti anak kecil yang tidak bisa berpisah dari orangtua terutama Bapak. Bagiku, Bapak adalah tumpuan harapan sekaligus teladan. Bapak tidak pernah memarahi apalagi membentakku. 

Di teras rumah, aku selalu menunggu Bapak sembari memandangi langit jingga. Aku tidak tahu kenapa saat memandangi senja, ada rasa yang membuatku tidak pernah jenuh menunggu Bapak pulang dari kebun. Namun, senja di sore hari ini membuatku gusar menunggu kedatangannya yang entah belum muncul hingga langit jingga memudar berganti dengan awan pekat di langit. 

“Nak, masuk di rumah. Sudah mau adzan, wudhu sana.” Suara ibu membuyarkan lamunanku dalam tanya tentang kepulangan Bapak.
“Tapi Bu, Bapak belum pulang.” Suaraku mulai bergetar. Ada rasa cemas menggantung di sana.
“Sabar nak, mungkin Bapakmu masih di kebun.”

Aku memilih diam dan tidak mau mendebat ibu. Kata Bapak, aku tidak boleh melawan Ibu karena Ibu adalah surgaku. Aku belum paham maksud perkataan Bapak saat itu dan baru kumengerti di kemudian hari. Sekali lagi kuarahkan pandanganku ke depan, bukan untuk menatap langit yang warnanya sudah berganti dari jingga ke hitam pekat, namun melihat jalan setapak depan rumah memastikan kedatangan Bapak. Sia-sia. Aku membalikkan badan, melangkahkan kaki memasuki rumah.

“Andi.. Andi… Mana Ibumu?” Suara itu terdengar memburu, wajahnya terlihat gusar. Kupandangi sekali lagi pemilik suara itu, ah dia Pak Iwan tetanggaku. Mengapa dia berlari ke rumah dengan suara yang bergetar dan raut wajah yang pucat?
“Ada apa pak? Ibu ada di dalam. Mau shalat.” Aku hanya menjawab seadanya.
“Ini penting!” Tanpa menunggu respon dariku, Pak Iwan masuk ke rumah membuatku sedikit kesal, karena masuk tanpa permisi dan terburu-buru. Mataku tertuju pada badik yang bergantung di pinggang Pak Iwan. Astaga! Badik itu meneteskan darah di lantai, menyisakan bintik-bintik darah di setiap lantai yang dilewati Pak Iwan.
“Ibu….!” Aku menyusul Pak Iwan ke dalam rumah. Pikiranku berkecamuk tentang badik dan apa yang sudah terjadi. Hari itu manakala langit jingga memudar, semuanya telah berubah. Hidupku benar-benar berubah sejak hari itu.
***
“Bapak, boleh Andi ikut berkebun?” Pintaku pada Bapak yang hendak bergegas ke kebun sembari membawa cangkul.
“Nanti saja nak, hari ini Bapak pulangnya agak terlambat, temani saja Ibumu menjemur padi.” Raut wajah Bapak selalu seperti biasa, tersenyum ramah. Entah hanya perasaanku saja, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Pandangan mata Bapak tidak seperti biasanya. 

“Tapi Pak, Andi pengen ikut…” Meski dilarang, tidak mudah bagiku menyerah meminta Bapak mengijinkanku pergi, bukannya melawan perintah Bapak, aku hanya tidak mau menyerah begitu saja. Lagipula kegiatan berkebun memang ditularkan Bapak sejak aku masih kecil. Hanya saja semenjak duduk di bangku SMP, Bapak lebih sering melarangku berkebun dan malah menyuruhku fokus belajar.

“Andi, dengar Bapak baik-baik.” Bapak meletakkan cangkulnya kemudian menghampiriku.
“Bapak mau melihat Andi sukses, jangan seperti Bapak yang kerjanya hanya bisa bertani di kebun. Ingat nak, cita-cita Bapak menyekolahkanmu. Kamu harus jadi orang saat dewasa nanti. Buktikan ke Bapak kalau kamu anak yang baik, sekolah yang rajin Nak supaya saat kamu kerja, Andi pakai seragam tidak kayak Bapak, pakaiannya compang-camping.” Gigi geraham bapak terlihat saat menyunggingkan senyumnya tepat di akhir kalimat. Bagi bapak, apapun profesi seseorang asal dia memakai baju seragam akan terlihat sangat elit dan berkelas bahkan officer sekalipun. Aku tidak pernah mengerti alasan kenapa Bapak memiliki pandangan lain tentang baju seragam dan profesi, bagiku petani adalah profesi nomor satu. Presiden sekalipun tidak akan bisa makan tanpa hasil jerih payah dari petani. Sejak dulu saat masih SD cita-citaku cuma satu. Aku ingin menjadi petani. Namun, cita-cita itu belum pernah kuutarakan kepada bapak. Aku tidak mau melihat gurat kekecewaan di hati bapak.

“Andi temani Ibu menjemur padi Nak!” Suara Ibu membuat aku dan bapak serempak menoleh di samping rumah yang memiliki tanah lapang. Tempat di mana Ibu selalu menjemur hasil panen padi. Bapak bergegas kembali, mengambil cangkul yang diletakkan lalu tersenyum ke arahku sembari memberi isyarat agar aku membantu Ibu. Aku hanya bisa diam dan sepertinya tidak bisa merengek ke Bapak lagi untuk ikut berkebun. 

“Nak, temani sana ibumu. Ingat kau adalah laki-laki kedua di rumah ini setelah Bapak. Jangan pernah biarkan perempuan berpeluh keringat karena pekerjaan kasar. Bapak pergi dulu.” Seutas senyum dari Bapak meredam kekecewaanku yang gagal ikut ke kebun. Diam-diam aku mengagumi Bapakku sendiri, cara dia mendidikku dan bagaimana Bapak memperlakukan Ibu. Kupadangi matanya lekat-lekat, mata yangs selalu teduh dan sabar.

“Pak, kalau pulang Andi minta dibawaain ikan yah Pak, tapi jangan yang mati, Andi mau pelihara ikan.” Sergaku berpesan dengan riang sebelum bapak pergi.
“Insya Allah nak.” Mataku menyusuri setiap langkah Bapak meninggalkan rumah. Kini, hanya punggung Bapak yang tersisa di pandanganku, lalu menghilang di kejauhan. Entah mengapa, perasaan rindu tiba-tiba menyeruak di hatiku pada Bapak. Segera kutepis perasaan aneh yang menyelusup tiba-tiba, aku berlari menuju ibu yang tengah menggelar tikar untuk menjemur padi. Aku bersyukur, sangat bersyukur kepada Allah yang menganugerahiku dua permata, membesarkanku dalam kasih sayang, mendidikku dengan cinta. Tidak ada yang mampu membalas kebaikan mereka. Ibu, Bapak, aku sayang kalian…
***
“Tidaaakkkk….!!!” Suara tangisan Ibu memecah keheningan. Kabar yang dibawa oleh Pak Iwan seperti petir yang menyambar-nyambar memekikkan telinga, membuat hati Ibu pecah berkeping-keping. Kabar itu pula yang membuatku tidak berdaya, hanya berdiri mematung di dekat pintu melihat Ibu meraung-raung dalam tangis. Sementara Pak Iwan sibuk menenangkan Ibuku. 

“Kenapa Pak, kenapa seseorang tega melakukan itu kepada suami saya?” Suara itu bergetar, isak tangis lebih memerihkan hati bagi yang mendengarnya.

“Sabar Bu, tenang, tenangkan diri dulu.” Badik yang menngantung di pinggang Pak iwan kini dilepas, membiarkannya tergeletak di atas kursi tamu. Aku hanya bisa diam lagi dan lagi memandangi badik itu yang bersimbah darah.

“Begini ceritanya Bu Yati, saya dan pak Amar dalam perjalanan pulang, kami melewati beberapa kebun. Saat tiba di kebun juragan Rijal, kami mendengar keributan. Karena penasaran, kami mendekati sumber keributan itu. Dan saat sampai di sana, kami sudah mengerti apa yang terjadi. Dua orang anak buah juragan Rijal bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah. Keduanya membawa senjata tajam. Mereka menggunakan badik Bu Yati, Badik! Tidak ada yang berani mendekat termasuk kami. Dan tiba-tiba suamimu, Hasan berlari mendekati mereka, Hasan mencoba meleraikan mereka. Hasan hampir berhasil meleraikan mereka, walau terpaksa melakukan kekerasan fisik. Namun, salah satu anak buah juragan emosi dan menyerang secara membabi buta. Dia menusuk Hasan dengan badik. Dan..” Ibuku menghentikan penjelasan pak Iwan. Ibu tidak sanggup mendengar lagi kejadian yang dialami Bapak, berita ini sungguh mengguncang jiwa Ibu, bagaimana mungkin Bapak harus terkena badik saat meleraikan anak buah juragan Rijal?

“Sudah Pak, saya hanya mau tahu, di mana suami saya sekarang?” Mata ibu sudah bengkak, Ibu menatap Pak Iwan penuh harap.
“Itulah kenapa saya datang ke sini Bu Yati. Mari ikut saya, kita ke rumah sakit.” Pak Iwan bergegas mengantar ibu ke rumah sakit. Sementara badik yang tegeletak di atas kursi itu tidak ada yang memerdulikannya. Aku beringsut, kutunggu aba-aba dari ibu.

“Andi, kamu jaga rumah yah nak.” Ingin sekali aku menolak permintaan ibu. Namun saat ini, lidahku sangat kelu. Jangankan bertanya kepada Pak Iwan perihal bapak, menjawab perkataan ibu saja aku tidak bisa. Lidahku benar-benar kelu. Seperti hatiku yang diguncang kabar kengerian yang dialami Bapak. Perlahan, aku hanya mengangguk. Secepat kilat Ibu pergi mengikuti Pak Iwan. Bahkan Ibu sendiri lupa untuk shalat. Ya Allah… cobaan apa ini.

Saat senja benar-benar pergi dari langit yang selalu kurindukan, berganti dengan malam yang pekat, aku menutup pintu rumah. Di dalam rumah yang berukuran sederhana ini, aku menangis sejadi-jadinya.

“Ya Allah.. kumohon, jangan biarkan Bapak pergi.”

“Maaf Pak, aku tidak bisa menjaga pesanmu yang satu ini. Agar laki-laki tidak boleh mengeluarkan air mata, karena air mata seorang laki-laki adalah keringat. Aku tidak bisa menahan air mataku lagi Pak.”

Dalam isak tangis yang tidak bisa kutahan, aku meringkuk di atas sajadah. Berharap akan ada keajaiban. Berharap, saat Ibu pulang bukan berita buruk yang kudengar. Mataku terasa bengkak dan berat. Samar-samar kudengar suara jangkrik memenuhi keheningan malam. Aku tertidur dalam isak tangis, dalam doa penuh harap, dalam rasa cemas yang mendalam.

“Bapak jangan pergi…”

-------
November 16
pict by google

Kau (tak) Mencintaiku


“Tak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan.” Apa yang salah dengan kata-kata itu? Aku dulu pernah membantah kalimat ini. Saat di mana aku dan Aulia menjalin hubungan sebatas –sepupu-sahabat- namun, seiring berjalannya waktu, rasa itu muncul begitu saja, tanpa permisi, tanpa ampun. Membuatku mempertaruhkan hubungan kami, membuat semuanya berubah.
 
***
Aku duduk seorang diri di koridor sekolah tepat saat hari Ibu diperingati. Semua teman-teman berlomba memberikan ucapan, kado, pelukan pada ibu tercinta. Aku malas membuka akun facebook yang isinya semua menyinggung hari Ibu. Ada rasa kesal saat mendengar kata itu. Ingin rasanya ku blok semua akun yang turut merayakan hari Ibu, namun aku urung. Mereka semua teman-teman belajarku.
“Ren, kamu ngapain di sini?” Seseorang yang wajahnya teramat kukenal datang menghampiriku. Matanya selalu berbinar-binar. Apalagi senyumnya. Aku tak tahu mengapa gadis ini selalu tersenyum.
“ng.. nggak ngapa-ngapain. Bete’ aja duduk di kelas.” Aku menjawabnya acuh. Tak mau menatap bola matanya yang bulat. Dia pandai membaca kegelisahan di mataku.
“Yuk, kita ke perpustakaan.” Tanpa menunggu aba-aba dariku, dia menarik tanganku begitu saja.

Dengan reflek, aku hanya bisa mengikutinya. Gadis satu ini sangat cerewet. Melawan perintahnya sama saja mengibarkan bendera perang.

Kami tiba di ruang perpustakaan. Ukurannya tak begitu luas. Seperti perpustakaan pada umumnya, semua buku-buku disusun berdasarkan genre dan urutan abjad. Ditaruh berjejerah di antara lemari-lemari panjang. Aku tak begitu menyukainya. Sangat monoton dan membosankan. Lagipula, hampir semua buku yang ada di perpustakaan ini buku pelajaran, hanya ada satu lemari yang memuat buku-buku fiksi. Ah, membosankan. Semua buku di sana sudah kubaca.

“Ren lihat deh buku ini. Cantik kan? Kapan yah kita bisa ke sana?” Aulia menyodorkan sebuah buku dengan cover bergambar menara Eiffel.
“Kita?” Tanyaku dalam hati. “Sejak kapan ada kita?” Aku membatin, bertanya dalam hati.
“Ren, kok bengong aja sih. Nggak seru deh.” Gadis itu memonyongkan bibirnya. Kedua matanya menyipit sembari memalingkan wajahnya dariku, pertanda dia marah.
“Oh Paris yah. Ya sudah. Kapan-kapan aja.” Aku berusaha menenangkan ambekan gadis ini. Sial, aku tak bisa menenangkannya dengan sedikit rayuan. Aku mengalah.
“Ren, nanti pas lulus kita daftar yuk ke UGM. Aku ambil sastra Inggris, kamu ambil jurusan Teknik. Kamu kan ahlinya di bidang itu. Ingat lo, ada kesempatan dapat beasiswa. Peluangmu lebih besar daripada aku. Jangan sia-siain.” Kukira dia akan mengambek berjam-jam seperti kebanyakan gadis lain, ternyata belum semenit gadis ini merubah raut wajahnya. Setiap ucapan dari bibirnya selalu membuatku terperangah. Aku belum pernah memikirkan masa depanku setelah lulus. Tapi dia?
“Udah bunyi bell tuh. Yuk masuk kelas.” Dan lagi, gadis itu menarik tanganku seenaknya saja. Aku seperti kerbau yang digiring oleh sang majikan masuk kandang.

***
Namanya Aulia. Gadis cerewet bermata bulat itu belakangan perhatian kepadaku. Dia bukan hanya teman sekelasku. Dia adalah sepupu dua kaliku. Sejak kematian ibu karena kecelakaan, dia selalu membantuku dalam hal apapun. Katanya, dia melakukan itu semua demi menjaga amanah ibuku. Yah, Aulia adalah orang terakhir yang dilihat ibu sebelum meninggal. Aku mengutuk diriku saat itu. Keasyikan bermain di luar, lupa membawa handphone, sehingga kabar tentang kematian Ibuku terlewatkan begitu saja. Bahkan, aku tidak sempat meminta maaf. Jujur kuakui, hubunganku dengan ibu tidak benar-benar baik sejak perceraiannya dengan ayah. Kata Ayah, Ibu adalah sebab perceraian mereka karena selingkuh. Sejak saat itu, hubunganku dengan Ibu sangat renggang. Aku jarang tinggal di rumah dan lebih menyukai keluyuran di luar bersama teman-teman atau siapapun itu. Namun, kematian ibu terasa petir yang menyayat hatiku. Bagaimapun rasa kesalku pada Ibu, tetap saja dia Ibuku. Pengkhianatan ibu kepada ayah mungkin tidak bisa kumaafkan, tapi kepergian ibu tanpa kehadiranku di sisinya saat-saat terakhir lebih kusesali.

Kutatap layar handponeku. Di galeri yang sedang kubuka. Nampak foto Aulia melingkarkan tangannya di bahuku. Matanya selalu terlihat berbinar-binar meski di dalam foto. Sudah dua tahun kami tinggal kos-kosan di Yogakarta sebagai mahasiswa. Ucapan Aulia dua tahun yang lalu terjadi begitu saja tanpa rintangan berarti. Dia berhasil masuk ke universitas UGM melalui jalur SBMPTN. Meski tanpa beasiswa, Aulia membagi waktu belajarnya dengan bekerja separuh waktu.

Mungkin keberuntungan sedang berpihak di pundakku. Sudah dua tahun ini aku tak perlu bersusah payah membayar kuliahku. Selain lolos SBMPTN dua tahun lalu, aku juga lolos mendapat beasiswa. Semua itu berkat gadis ini, Aulia. Tiba-tiba handphoneku berdering. Seseorang memanggilku, nama yang tidak asing. Aulia.

“Kamu di mana sih! Di sms nggak di bales. Capek tau nunggu. Cepetan datang nih, mau hujan.” Tuut. Sambungan terputus. Suara itu memekikkan telinga. Aku lupa akan ada janji menjemput Aulia sepulang dari kampus.

Kupandangi foto itu sekali lagi di handphoneku. Entah mengapa setiap kali memandangi wajahnya, ada desiran aneh di hatiku. Aku tak tahu ini perasaan apa, dan itu baru kusadari sejak setahun lalu. Setelah meyakinkan diriku dalam waktu yang cukup lama, aku telah mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang akan mempertaruhkan hubunganku dengan Aulia sebagai sepupuku.

“Hari ini. Yah hari ini juga akan kukatakan perasaanku.” Senyum tanda kepuasan tergambar di wajahku. Namun, rasa cemas juga takut bergemuruh di dadaku. Dengan langkah penuh harap kujemput Aulia.

***
“Lia, aku mau ngomong sesuatu.”
“Ya ampun, udah telat pengen ngomong sesuatu lagi. Tumben kamu. Mau ngomong apa sih?”
Tak ada kata-kata romantis untuk gadis pemiliki mata bulat di hadapanku ini. Aku kesal dengan diriku yang tidak pandai merangkai kata-kata, paling tidak seharusnya aku bisa mencari tempat yang lebih romantis. Ah sial. Lagi dan lagi aku tak bisa melakukan itu semua.
“Aku mau kamu jadi pacar aku. Aku suka kamu Aulia, dan aku nggak mau hubungan kita hanya sebatas sahabat-sepupu.” Kata-kata itu mengalir lancar tanpa kendala berarti. Aku mampu menutupi rasa gugup yang sebentar lagi akan meledak.

Satu menit, dua menit, tiga menit. Tak ada respon.
Aula menatapku dalam diam membisu. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir cerewetnya. Pandangan mata yang biasanya berbinar-binar kini meredup. Aku masih menunggu jawabannya sembari duduk di atas motor. Ah sial! Aku terlalu terburu-buru. Bahkan lupa mengantar Aulia pulang dulu.
“Ren..” Deg! Jantungku terpompa tiga kali lipat dari sebelumnya. Aku tak bisa menebak apa yang akan dia ucapkan.
“Ren, aku ngg… nggak bisa. Aku nggak bisa menjalin hubungan lebih jauh lagi denganmu.”
“kenapa?” Seketika bias kekecewaan menusuk hatiku.
“Kenapa Lia?” Aku masih bertanya penuh harap.
“Karena aku sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Nggak mungkin aku mencintaimu. Nggak akan pernah Ren!”
“Itu nggak adil Lia.” Suaraku hampir lenyap ditelan kekecewaan. Kupikir hubungan kami akan mulus, kupikir dia akan menerimaku. Kuanggap semua perlakuannya selama ini menimbulkan rasa yang sama.
“Maaf Ren” Hanya itu. Aulia yang biasanya cerewet tiba-tiba menjadi sangat kaku. Sadarkah dia jika yang paling menderita adalah aku? Apakah dia lupa saat dua tahun lalu aku hampir menyerahkan hidupku di jalanan?
“Aku nggak mungkin mengkhianati janjiku. Janji pada diriku sendiri. Bahwa perhatian dan apapun itu sejak dua tahun hanyalah sebatas perhatian dari sepupu juga menjaga amanah dari Ibumu. Satu lagi, jika kamu memintaku untuk menjadi pacarmu, sama saja kau memintaku mengkhianati diriku sendiri!” Tatapan matanya yang kurang bersahabat telah menusuk perasaan yang sudah kusimpan sejak setahun terakhir. Dia berbalik dan urung pulang bersamaku.
“Persetan dengan janji!” Aku mengumpat dalam hati. “Jika setia yang kau maksud adalah mengikuti janji pada dirimu dua tahun lalu, kau salah besar Aulia!
“Kau lupa, kalau kau sendiri mengkhianati perasaanmu.” Kunyalakan gas motor sekencang-kencangnya tanpa peduli keadaan sekitar. Tak peduli ke mana Aulia dan dengan siapa dia akan pulang. Penolakan itu benar-benar membuatku merasa dikhianati.

_________
Picture taken by google
karya: Ainhy Edelweiss

















ETALASE MIMPI


Ini kisah tentangku dan Hannah lima tahun yang lalu. Tak kusangka saat membuka kembali buku diary yang sudah kusam ini, hubungan kami ibarat langit dan bumi. Namun, ada kerinduan yang selalu membuat ingatanku mencari sosok itu, berharap ia akan kembali, tertawa bersama, menangis bersama, dan berpetualangan bersama-sama. Kami punya mimpi, menggantungkannya pada langit setinggi-tinggi mungkin, biarlah jika itu tidak terwujud, asal aku dan Hannah selalu bersama-sama. Namun…

***

“An, kamu aja yah yang ikut kegiatan eskul di sekolah. Aku nggak bisa, soalnya…” belum selesai kuutaraan maksudku pada Hannah, dia langsung menggiringku ke suatu tempat.
“Gila kamu! Del, kamu udah janji mau ikut kegiatan itu juga. Kamu lupa?” Suaranya meninggi, Hannah sesungguhnya lebih cocok menjadi kakakku atau Ibuku ketimbang menjadi sahabatku sejak setahun terakhir.
“Maaf, tapi…”
“Tapi apa?” gurat di wajahnya semakin menegangkan. Dia tahu semuanya tentang diriku, bahkan hal-hal terkecil sekalipun. Hanya saja, aku merasa Hannah sedikit berlebihan.
“Buat apa An, aku sudah tidak punya motivasi apa-apa lagi.” Aku mengangkat bahuku tanda pasrah. Lebih tepatnya menyerah dengan keadaan. Sejak kepergian Ayah, aku merasa hilang arah dan tujuan. Ayah yang begitu kucintai telah pergi. Sedang Ibu? Hubunganku dengan Ibu tidak layak disebut sebagai Ibu dan anak. Lebih tepatnya hubungan kami seperti Tom and Jerry. Setiap ada ibu di rumah di sanalah akan dimulai pertengkaran.

“Aku tahu Del, kamu sedang sedih. Tapi nggak harus begini kan? Ingat mimpi-mimpi kita.” Hannah, gadis berkacamata yang tinggi badannya jauh dariku berusaha meyakinkanku untuk mengikuti kegiatan eskul, dia yang paling tahu tentang bakatku. Hanya saja…

“Baiklah An, tapi ingat yah kamu nggak boleh jauh-jauh saat kegiatan berlangsung.” Akhirnya aku mengalah juga. Belakangan ini aku lebih banyak mengikuti saran Hannah. Jika saja waktu bisa diubah, mungkin aku akan meminta Tuhan untuk menjadikan Hannah sebagai Ibuku, bukan Ibu yang sekarang. Aku benci! 

“Nah dari tadi dong. Yaudah Del, kamu tunggu di sini yah. Aku ke perpustakaan dulu balikin buku ini.” Hannah tersenyum sumringah, dia benar-benar menang sekarang. Tapi tak apa, toh memang dia berhak setelah persahabatan kami terjalin. Kupandangi langkah Hannah meninggalkan koridor tempat aku duduk sekarang hingga tak lagi kulihat punggungnya. Ingatanku kembali pada peristiwa setahun lalu, saat pertama bertemu dengannya.

***

“STOOOOP!!!! HEY BAJINGAN!!!” Suaraku tercekat saat melihat kedua pengendara itu lenyap ditelan oleh jarak. “SIAL!” umpatku dalam hati. Namun, aku segera melupakan kedua pengendara brengsek yang telah menabrak seorang siswi berseragam sama dengan seragamku. Aku berlari meraih tubuh yang tergeletak bersimpah darah itu di jalanan. 

“Tolongg….Tolongg….” Jalan Pendidikan sangat lengang, tak ada siapa-siapa yang lewat, pengendara, mobil, kemana mereka? Kulirik jam di tanganku, pukul 06.30, pantas saja. Lalu kenapa gadis ini bisa sampai tertabrak? Pakai seragam sekolah lagi. Ini kan hari minggu. 

Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu pikiranku, namun rasa cemasku saat ini jauh lebih besar. Aku harus menelpon Ayah.

Sejam kemudian
Aku dan Ayah duduk menunggu di depan ruang UGD RS. Wahidin. Wajah Ayah menampakkan kecemasan di sana, aku tahu apa alasannya. Kematian kakakku di ruang UGD membuat Ayah trauma melangkahkan kaki ke rumah sakit apalagi melihat ruang UGD. Namun, apa yang kuperbuat hari ini justru membuatku merasa bersalah pada Ayah.

“Yah, maaf.. aku ng…nggak bermaksud merepotin Ayah hari ini.” Yang bisa kulakukan hanya meminta maaf, takut jika penyakit Ayah kambuh lagi.
“Nggak apa-apa nak. Justru Ayah bangga dengan kamu. Kamu sudah menyelamatkan nyawa orang Nak.” Ayah mengusap ubun-ubunku dan merangkulku dengan erat. Belum pernah kurasakan kasih sayang Ibuku sendiri seperti kasih sayang Ayah.

“HEI!!! Del, halooo Del.” Bayangan tentang masa lalu saat pertama kali bertemu dengan Hannah buyar seketika.
“Yeee ngelamunin siapa hayoooo?” Hannah tak cukup puas mengganggu nostalgiaku, kini dia juga meledekku. Aku memasang wajah cemberut.
“Ushhh usil banget sih kamu. Yuk balik ke kelas.” Buru-buru kualihkan ledekan Hannah sebelum membengkak ledekannya. Kami berjalan bersama memasuki kelas. Untuk semua yang telah terjadi, saat kepergian Ayah beberapa bulan lalu, tentang perilaku Ibu yang hampir membuatku gila, terbayar tuntas dengan kehadiran Hannah sebagai sahabatku. Aku tahu, semuanya tidak begitu sepadan, namun untuk semua perstiwa yang sudah kualami, aku tahu bahwa Tuhan Maha Adil. Jika saja bukan karena keelakaan itu, mungkin sampai detik ini aku tak akan pernah bertemu dengan Hannah. 

***

“Yuhhuuuu akhirnya kita lulus, selamat yah An.” Aku menitikkan air mata sesaat setelah acara penamatan kelas tiga SMA. Aku dan Hannah lulus dengan nilai yang memuaskan. Meski Hannah tidak masuk lima besar, impian kami untuk kuliah di tempat yang sama akhirnya terwujud.

“Sama-sama Del, kamu juga yah.” Kami berpelukan. Acara penamatan ini benar-benar menyiksaku. Rasanya, aku tak bisa melepaskan semua kenangan di sekolah ini. Saat pertama kali Ayah mengantarku mendaftar, saat pertama kali aku menemukan cinta pertamaku meski bertepuk sebelah tangan, saat aku hampir berhenti sekolah saat kepergian Ayah, dan saat tak ada lagi mimpi yang tersisa dan di sanalah Hannah menemaniku, membuka kembali harapan baru tentang mimpi-mimpi, aku telah tersedot oleh mimpi-mimpi Hannah.

“Yuk, kita ke tempat favorit.” Ajak Hannah yang tanpa aba-aba dariku langsung mengikutinya.
Kami duduk di samping sekolah yang jauh dari keriuhan. Saat ini, teman-teman sekelasku masih berkumpul di aula, merayakan suka cita penamatan di sekolah. 

“Sawahnya keren yah Del, semakin besar semakin menghijau, memandangnya dari jauh seakan melihat padang rumput hijau yang luas, saat memandangnya dari jarak dekat, padi seolah mengajarkan kita sesuatu.” Hannah menatap tak seperti biasanya. Kali ini, dia menatap ke sawah dengan tatapan aneh. Seolah ada sesuatu yang hilang darinya. Entahlah.

“Iya An, saat dekat, padi mengajarkan kita tentang kerendahan hati. Semakin berisi semakin merunduk. Sebentar lagi kita akan pindah ke kota, bakal tinggal jauh dari kampung halaman. Bisa nggak yah kita bertahan?” Ada gurat kecemasan di wajahku. Namun, seketika Hannah merangkulku, seperti seorang Ibu yang hendak mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Kita harus yakin Del, ingat tentang mimpi-mimpi kita. Kita harus bisa menjadi orang sukses! Membuktikan kepada orang-orang dan diri kita sendiri bahwa kita bisa!” Hannah mengepalkan tangan kirinya ke arahku, seolah menyorakiku yang tengah ikut lomba, aku tak lagi asing dengan caranya yang menyemangatiku. Semangatnya seperti kobaran api, menyala, membakar jiwa yang hampir putus asa dalam bermimpi.

“Aku tentu akan kuat An, bila ada kamu. Please, saat kita tinggal di kota jangan tinggalkan aku.” Sayangnya kata-kata ini hanya bisa kuutarakan dalam hati. Tak mungkin kuucapkan kata-kata ini pada Hannah. Aku sudah yakin tentang mimpi-mimpi yang telah kami rangkai. Dan semakin kuat keyakinanku akan mimpi yang harus kami wujudkan, maka akan semakin besar  keraguan hinggap di benakku.

Sore itu adalah sore terakhir bersamaku dengan Hannah di samping sekolah dekat persawahan, kami yang sama-sama merayakan hari kelulusan tanpa orangtua mencari cara tersendiri untuk meninabokokkan hati yang sebentar lagi memecahkan tangis. Tangis betapa perih merayakan kebahagiaan tanpa orangtua.

***

Kututup bacaan terakhirku pada buku  diaryku  yang sudah kusam. Memori tentang kebersamaanku  dengan Hannah berakhir di sore itu, tersimpan rapat  dalam tulisan di diary ini, berakhir dalam mimpi yang entah kapan aku mewujudkannya. Hannah sudah menjadi pengusaha sekarang.  Tahun pertama saat kuliah semuanya berjalan lancar, namun di hari-hari berikutnya, kami disibukkan  oleh urusan masing-masing.

Kami kuliah di jurusan Ekonomi, di awal kupikir jurusan ini akan sangat membantuku kelak saat meniti karir, namun semuanya sirna seiring berjalannya waktu. Aku tak benar-benar menyukai jurusan ini. Karena keinginan hatiku satu-satuya adalah kuliah di jurusan sastra, Akan tetapi, tempatnya sangat jauh, aku tak memiliki siapa-siapa, dan lagipula, mimpi Hannah telah menyeretku masuk ke dalam mimpi-mimpinya. Kukira diriku sama dengan Hannah, bermimpi ingin menjadi pengusaha sukses. Nyatanya, aku tak bisa melakukan bisnis apapun, semakin kupaksa melangkah ke sana, semakin jauh luka kutorehkan dalam batinku. 

“Hannah aku ingin kuliah di jurusan sastra.” Namun, keinginan itu terlampau telat kukabulkan. Tak mungkin bagiku mengulang semuanya ke titik nol, mengingat biaya yang disimpan Ayah sepeninggalnya semakin berkurang. Kini, mimpi-mimpiku bersama Hannah kusimpan dalam sebuah etalase.

Aku tak tahu bagaimana Hannah yang sekarang. Dia terlalu sibuk dengan mimpinya yang memang sesuai dengan passion-nya, sementara aku? Aku terombang-ambing dengan mimpiku. Namun, aku bahagia, melihat Hannah bisa meraih mimpinya.

Aku tak ingin menjadi bagian yang terlupakan dalam hidupmu Hannah, namun aku juga tak bisa mendatangimu setelah semua mimpi kukunci rapat-rapat dalam etalase. Kamu pun tak bisa membuka etalase itu. Sebab jarak kita sudah terlampau membentang arah. Aku bumi dan kau langit.

Etalase mimpiku lahir karena kekecewaan pada diriku sendiri, pun aku kecewa karena kamu bukan Hannahku yang dulu lagi. Haruskah kusimpan semua ingatan tentang persahabatan kita dalam etalase?
“Tidak!” Suara hatiku masih hidup di sana, Ia adalah suara rindu pada sosok dirimu yang dulu. Meski aku ingin, namun tak bisa membencimu. Cukuplah kenangan tentang merajut asa tersimpan dalam etalase mimpi.

Dia, Ayah Keduaku

Aku tak memedulikan derasnya hujan. Aku hanya ingin berlari sekencang-kencangnya. Menjauh dari rumah. Menjauh dari kenyataan, bahwa aku akan kehilangan orang yang paling kusayangi. Ayahku. Ayah memang hanya pergi untuk sementara, tapi sungguh aku benci perpisahaan ini.

***
Hari pertama menyandang status anak SMA terasa biasa-biasa saja. Aku berjalan menuju sekolah yang tak jauh dari rumah nenekku. Keceriaan itu sudah lama hilang dari diriku. Langkahku tertatih. Sejak kepergian Ayah merantau di Malaysia, aku benar-benar kehilangan sosok yang bisa menjadi teladanku.

“Nak, kamu jangan sedih. Ayah pergi bukan karena pertengkaran Ayah dengan paman, bukan Nak. Ayah murni pergi untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Lihat, sebentar lagi kamu akan lulus di SMP. Akan butuh biaya yang banyak Nak. Ayah tak ingin, kamu jadi pengangguran dan mengikuti jejak Ayah.” Ayah menatapku lekat. Senja di sore itu terasa kelam. Ayah berusaha membujukku.

Aku berjalan pelan menuju sekolah yang tak terlalu jauh dari rumah. Anehnya, ingatan saat perginya ayah ke tanah rantau tak bisa kulupakan.

“Tapi Ayah, mengapa harus pergi? Siapa yang akan mengajari aku? Membacakan surah Yasin saat malam jum’at sebelum tidur? Ayah kan tahu, aku nggak bisa berbuat apa-apa tanpa Ayah di sini.” Tanpa kusadari, air mataku mengalir. Aku memang laki-laki, tapi untuk hal ini, aku nggak bisa menahan isak tangisku di hadapannya.

“Nak, ingat, kau itu laki-laki. Jangan pernah biarkan air matamu menetes. Ingat, kita ini laki-laki. Seberat apa pun itu, air mata laki-laki adalah keringat. Kamu sudah besar nak. Jangan khawatir, kamu bisa tinggal di rumah nenek.” Ayah mengelus ubun-ubunku dengan lembut. Sorot matanya tajam. Guratan di wajahnya menandakan usianya yang semakin tua. Beberapa helai rambutnya sudah memutih. Kepergian ibu sejak tiga tahun lalu menyisakan kepedihan tersendiri bagi kami berdua.

“Tapi yah, aku…” Belum sempat aku melanjutkan omonganku, ayah memelukku erat-erat.
“Nak, sudah. Jangan berdebat dengan Ayah. Besok Ayah harus pergi. Ingat, belajar yang baik dan rajin. Ayah ingin melihat kamu sukses. Biar pamanmu tidak mencela keluarga kita lagi. Biar kamu bisa membungkam mulut mereka dengan prestasimu.” Ayah melepaskan pelukannya. Ada rasa hangat menjalar di tubuhku. Aku pasti akan merindukan ayah. Sangat.

Tak kusangka ingatan itu mengundang bulir-bulir di tepi mataku.
“Ah sial!” Gerutuku dalam hati. Sudah hampir setahun. Masih saja aku mengingat saat-saat sebelum kepergian ayah di tanah rantau.

Tanpa kusadari aku sampai di sekolah. Memasuki ruangan kelasku. Sebelum melangkah masuk kelas, seseorang memegang pundakku dari belakang. Aku menoleh.
“Eh.. Pak.. Pak Nuur.” Aku salah tingkah saat meyadari siapa yang memegang pundakku. Beliau adalah guru favoritku di sekolah. Namanya pak Nuur Syam. Belakangan ini, aku akrab dengan beliau. 

“Arul, kamu terlambat lagi masuk kelas. Untung bapak meeting tadi di ruang guru. Kamu selamat.” Pak Nuur tersenyum di hadapanku, aku tahu dia tipe guru yang humoris dan terkadang mengerjai siswanya yang terlambat, tapi justru itulah yang aku suka. Suasana di kelas tidak pernah tegang. Cara mengajarnya sangat efektif, kami nggak pernah merasa bosan saat beliau mengajar. Tapi, di saat yang sama beliau juga bisa tegas. Seperti itulah beliau mendidik kami. Nggak hanya sekedar mengajar.

Aku duduk di bangku paling depan. Alasannya simple, biar mudah mengerti penjelasan guru-guru, tentu saja ada resikonya. Kebanyakan yang duduk di depan selalu menjadi yang pertama jika ditunjuki mengerjakan atau menjawab pertanyaan setiap guru yang mengajar di kelas. Tapi, sejak mengenal pak Nuur, aku malah ketagihan duduk di depan setiap memasuki ruang kelas.

Kuperbaiki posisi dudukku sembari meraih pulpen dan buku di dalam tas. Pelajaran sudah dimulai. Pak Nuur seperti biasa mengawali pelajarannya dengan kisah inspiratif. Aku termangu setiap kali pak Nuur mengajar di dalam kelas. Senyum dan wajahnya sangat mirip dengan Ayahku.  Ingatanku kembali merambah saat pertama memasuki sekolah ini.
***
Hari pertama menjadi murid SMA biasa-biasa saja. Tiga bulan semenjak perpisahan dengan ayah menyisakan rongga rindu yang sangat mendalam. Aku menyalahkahkan pamanku sejak perginya Ayah di tanah rantau. Bagiku, Ayah pergi karena ulahnya. Aku masih ingat bagaimana paman menghina Ayah di depan rumah kami sendiri. Ayah yang tubuhnya sudah ringkih, tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah terlalu sabar bagiku. Dan karena itu pula, ayah memilih pergi jauh dari kampungnya. Jauh dariku.

Malangnya, aku nggak bisa setegar yang Ayah kira. Aku bergabung dengan komplotan anak nakal di sekolah. Beberapa dari mereka adalah teman SMPku. Aku melampiaskan semua kekesalanku dengan brutal. Meski berstatus anak baru di SMA, namun kelakuanku sudah seperti senior. Aku lebih banyak membolos di sekolah. Dan sampai pada insiden itu yang mempertemukanku dengan pak Nuur.

Hari itu, aku meloncat keluar dari pagar sekolah. Teman sekolahku membawaku ke tempat markas di mana kami sering berkumpul. Lokasinya tak jauh dari sekolah, namun dekat dari pasar. Aku lupa bahwa hari itu akan ada razia khusus anak sekolahan yang bolos di sekolah. Tanpa kusadari, gerombolan polisi menjelajahi setiap sudut di dekat sekolah kami. Teman-teman yang menyadari itu lari terbirit-birit, sementara aku yang kebetulan masuk di dalam wc, tidak menyadarinya.

Salah seorang polisi menangkapku saat kembali duduk di warung yang kami jadikan markas berkumpul. Aku tertangkap basah dan nggak bisa mengelak karena seragam SMA yang kupakai. Aku digiring ke sekolahku. Aku tidak bisa berkata banyak. Anak-anak SMA berhamburan di luar melihatku. Aku hanya bisa menunduk tanpa melakukan perlawanan. Kepala sekolah menegurku keras. Aku memang tak berurusan dengan polisi. Mereka hanya melakukan razia bagi siswa yang bolos. Sisanya, sekolah yang akan bertanggung jawab.

Di ruangan BK, aku ditanyai banyak hal. Guru BK di sekolahku sangat galak. Aku dibentak habis-habisan. Tak tersisa lagi ruang bagiku untuk membela. Ingin rasanya kukatakan bahwa aku hanya frustasi karena masalah yang kuhadapi. Namun, aku urung. Apa pedulinya mereka dengan diriku. Dan saat dibentak itu, seseorang masuk dalam ruangan. Guru yang tadi membentakku tiba-tiba diam.
Seseorang yang masuk tadi duduk menghamipiriku. Dia menatapku lekat-lekat. Kupikir, dia juga akan memarahiku. Dia hanya tersenyum dan menoleh ke arah guru BK itu seolah membicarakan sesuatu. Aku merasa lega, karena guru BK yang dari tadi membentakku akhirnya keluar juga.

“Nak, nama kamu Arul kan? Kamu ke rumah bapak yah setelah pulang sekolah.” Dia tersenyum simpul di hadapanku. Aku menatapnya bingung, aku belum pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi, aku yakin dari seragamnya, dia juga mengajar di sekolah ini. Tapi mengapa dia mengajakku ke rumahnya?
“Rumah bapak dimana?” Dengan ragu-ragu, aku bertanya letak rumahnya.
“Di perumahan sekolah nak, ya sudah kamu masuk kelas. Ingat, sepulang sekolah kamu ke rumah bapak.”
Hanya itu. Dia meninggalkan ruang BK. Aku kembali ke ruang kelas yang sebenarnya masih bingung dan bertanya-tanya tentang orang itu. Banyak pasang mata menatapku dengan sinis. Aku merasa bersalah. Gara-gara ulahku, aku memberikan citra tidak baik terhadap sekolah ini. 

Sepulang sekolah, aku menghampiri rumahnya. Aku masih bingung, siapa namanya. Aku yakin dia juga guru di sekolahku. Aku disambut hangat oleh dia. Aku terperangah saat pertama kali masuk di dalam rumahnya. Ruang tamu dipenuhi oleh jejeran buku yang rapi di dinding rumah dan memenuhi satu lemari besar.
“Panggil saya pak Nuur, nak. Saya guru kelas tiga. Wajar saja kalau kamu belum kenal bapak.”

Aku tediam sejenak. Aku baru menyadari sesuatu yang tidak asing sejak melihat dia, maksudku pak Nuur di ruang BK tadi. Wajah dan senyumnya mirip Ayahku hanya saja, beliau terlihat lebih muda dari Ayah. Dan ya Tuhan! Sorot matanya itu mengingatkanku pada Ayah. Aku membatin dalam hati ketika beliau memandangku.
***
“Arul! Arul! kamu menghayal?” Suara teman sebangkuku, menyadarkanku dari lamunan. Aku hanya tersenyum ke arah temanku. Sekali lagi, kulihat pak Nuur lamat-lamat. Sejak hari itu, aku lebih sering ke rumah beliau. Guru yang tidak pernah kukenal sebelumnya kini sangat akrab denganku. Bukan hanya aku, di rumah beliau ada banyak puluhan siswa lainnya yang sering ke rumah beliau untuk membaca buku. Tapi, bagiku pak Nuur lebih dari seorang guru, dia Ayah kedua bagiku.

Karena nasehatnya, aku berhenti bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahku. Akupun berhenti bolos sekolah. Perlahan tapi pasti, aku merasa termotivasi kembali. Bahkan aku bermimpi! Beliau membuatku bercita-cita, membangun mimpi. Kata pak Nuur, jangan pernah merasa berkecil hati saat kau merasa kekurangan ekonomi. Jadikan itu sebagai bahan bakarmu untuk melangkah ke depan. Kata-kata beliau mungkin hanyalah nasehat ringan, tapi tidak bagiku. Itu sangat berarti. 

Aku sering ke rumah beliau untuk membaca buku bahkan sampai menginap. Beliau memperlakukanku layaknya anak sendiri. Di sisi lain, beliau juga sangat tegas. Hal yang paling kusukai dari beliau karena sisi humorisnya dan sangat mengerti psikologi muridnya. Terutama aku. 

“Nak Arul, tolong ambil buku absensi bapak di perumahan, Bapak lupa membawanya.”
Tanpa banyak bicara, aku meninggalkan kelas. Menuju perumahan beliau yang kini sudah menjadi rumah keduaku. Tidak heran jika pak Nuur memberiku amanah untuk mengambil sesuatu yang beliau lupa di perumahan. Aku berjalan cepat menuju rumahnya sambil tersenyum. Sejenak, aku memandangi langit yang indah membiru. Aku tetap dan akan selalu merindukanmu Ayah. Dan ya Tuhan, terima kasih karena Engkau mempertemukanku dengan guru yang sangat baik. Guru yang juga seperti ayahku sendiri. 
________
picture taken by google
karya: Ainhy Edelweiss

SEKOTAK NASI

Mata perempuan muda itu berkaca-kaca. Langkahnya terhenti saat menenteng sebungkus nasi goreng di tangannya. Tak jauh dari tempat di mana ia berdiri, duduk seorang nenek dan seorang bocah kecil berbaring di pangkuan sang nenek. Nenek itu sudah tua renta, wajahnya yang keriput, matanya memelas rasa kasihan dari orang yang berlalu lalang tak acuh di depan sang nenek. Kakinya yang lumpuh, hanya mampu berjalan terseok-seok diikuti langkah kecil sang bocah pergi meninggalkan tempat itu. Sepertinya tak ada lagi yang peka di tempat itu. Tak terkecuali perempuan muda yang berbaju biru itu, ia pulang denga hati bagai disayat sembilu.

"Apa yang harus kulakukan?" Sepanjang jalan pulang, ia dihantui oleh pertanyaan itu.

***
"Guyss, gue mau ngadain kegiatan amal. Kalian harus ikut berpartsipasi! terserah mau berapa-berapa, tapi harus yah." Nada perempuan itu sangat tegas. Tak ada kesan main-main dengan idenya barusan. Beberapa teman yang sibuk dengan gadget masing-masing, terhenti.

"What? Nggak salah nih? sejak kapan loe ngadain kegiatan seperti itu. Lebih baik karaokean deh." Si gadis berbaju kardigan merah itu menghantam telak niat perempuan itu.

"Hmm.. aku sih mau yah Aida, masalahnya loe mau ngapain? ngumpulin dananya di mana, trus buat kegiatan amalnya kayak apa, dan loe mau ngasih siapa coba. Terlalu banyak orang miskin di luar sana!" Reni yang berbaring di kamar perempuan itu memberi saran, namun tidak membuat  perempuan itu mengurungkan niatnya.

Perempuan itu berfikir sejenak untuk meyakinkan teman-temannya harus menyetujui rencanya. Lalu duduk dan menatap satu persatu teman-temannya, membuat mereka berhenti memainkan gadget. Meski mereka terlihat kebingungan, perempuan itu  memiliki karisma yang bisa mengalihkan perhatian  teama-temannya, wajar saja jika dia dijuluki teman yang paling gaul dan supel.

"Begini, gue nggak peduli gimana kalian menanggapi rencana gue. Tapi, gue berharap kalian berpartisipasi. Terserah kalian mau bayar berapa. Kita harus ngadain hari sabtu. Sisa tiga hari sih memang, tapi gue berharap kalian ikut membantu.

Setelah dana terkumpul, gue sendiri yang buat makanannya. Simple kok, sedikit sayur, lauk pauk, ditambah nasi, trus di bungkus pake kotak nasi. Nah simple kan?" Aida menatap satu persatu teman-temannya. Mereka menyimak dengan seksama. Reni, ira, masih terlihat tampak tak acuh. Namun, Lani dan Yuki terlihat antusias. Lagipula nggak ada salahnya melakukan kegiatan amal sekali setahun.

"Oke Da, gue setuju-setuju aja. Tapi loe kan tau, kebanyakan kita nge-kos. Apa ia dana loe akan cukup? Paling yang menyumbang nggak banyak." Jawab Lani yang tampak ragu-ragu. Namun, diam-diam dia mengagumi niat Aida.

"Nah justru itu guys. Kalian pernah kan ngerasain kelaparan di kos. Well, bukannya sok yah, tapi seharusnya kita sadar, ngerasain pernah kelaparan. Gimana coba dengan mereka yang hidup di jalanan, tidur di bawah jalan tol. Masih mending kita kan, puya tempat tinggal dan dibantu orangtua. Kita kelaparan kan paling cuma mager doang." Aida masih antusias menjelaskan maksudnya mengadakan kegiatan amal. Semua terdiam. Reni dan Ira yang tadinya mengumpat kini terdiam. Ia tau, kata-kata Aida barusan juga mengena telak di hati mereka.

"Loe kalau udah nyinggung itu, nggak bisa ngomong apa-apa Da, yaudah gue ikut aja sama ide loe. Tapi ingat, kita harus bergerak cepat. Waktunya mepet banget. Lagian kenapa sih mesti hari sabtu?"
Yuki dengan mata sipitnya ikut juga menyuarakan pendapat.

"Oke.. oke kalian simak baik-baik yah. Gue anggap kalian sudah pada setuju. Nih rencana gue."

Kelima mahasiswa itu berembuk. Perempuan yang bernama Aida itu tak bisa lagi menunda keinginannya yang sudah lama terpendam. Dia harus menuntaskan apa yang sudah diabaikan hari itu. Hari di mana ia menjadi salah satu orang yang lalu lalang  tak memerdulikan si nenek tua yang terseok dan bocah kecil yang sudah kelaparan.

***
Senja sudah tenggelam di pelupuk mata. Harapan tentang uluran dari tangan-tangan golongan atas tak menandakan belas kasih. Matanya mulai meneteskan air mata. Dipandanginya Fly Over sebagai atap selain langit tempatnya berteduh. Dia, sang nenek hanya mampu mengelus-elus bocah kecilnya. Mungkin cucunya, mungkin juga anak temannya, atau mungkin anak pungut. Entahlah.

Hari ini, sang nenek kalah oleh kehampaan. Tak ada suara nyaring yang bisa dia jual kepada mereka yang menginginkan suara emas. Tak ada tubuh elok yang bisa dibanggakan melamar kerja. Apa yang bisa dia lakukan selain mengemis? Sebenarnya dia tidak ingin melakukan itu. Jika saja menunggu kematian dalam kelaparan diperbolehkan tanpa beban, maka dia rela melakukannya. Tapi, bagaimana dengan bocah kecil ini?

Sekali lagi, sang nenek menerawang ke udara. Meraba-raba setiap kemungkinan yang bisa dilakukan. Apa daya jika kaki sudah buntung, wajah yang sudah keriput, kulit yang menghitam. Siapapun merasa jijik melihatnya. Hanya beberapa lalat yang mau mendekatinya. Apa lalat lebih baik tanpa jijik mendekati sang nenek dibanding mereka?

Sang nenek merebahkan tubuhnya di samping sang bocah. Rupanya elusan mampu membuat bocah itu tertidur. Berharap tak ada satpol atau apapun yang mengusir dia tidur di bawah jembatan.

"Nek, nek..." Suara itu terdengar berat, Menahan parau yang sebentar lagi meledak. Matanya ternyata berkhianat. Air mata segera mengucur, berkali-kalipun diseka tetap saja mengalir deras.

"Aida, loe simpen aja sekotak nasi ini di dekat nenek itu." Suara Reni membuat Aida cepat-cepat ,enghapus air matanya.

"Tapi...." Aida masih memikirkan sesuatu, menimbang apakah cukup dengan sekotak nasi? Ia sudah membagi-bagikan beberapa bungkus nasi yang sudah dikemas, tak banyak memang. Ia dan beberapa temannya menyusuri setiap jalan. Memberikan sekotak nasi bagi yang memang membutuhkan.

"Gue harus ngasih dua kotak nasi untuk nenek ini." Tanpa basa-basi Aida meletakkan dua kotak nasi di dekat sang nenek. Ada perasaan haru menggerayapi hati Aida sekaligus rasa sedih yang menyayat-nyayat hatinya. Hanya ini yang bisa dia lakukan.

"Yuk." Aida mengajak Reni bergegas, takut jika sang nenek terbangun. Itu adalah kotak bungkusan kotak nasi yang terakhir. Sebanyak 59 kotak nasi mereka bagikan. Aida bersama Reni, sementara yang lain membagikan bungkusan nasi di tempat lain. Ada yang berubah dari Reni setelah ikut membagikan kotak nasi di jalanan.

"Makasih yah Aida, maaf di awal gue paling nggak setuju dengan niat lo." Ucap Reni di atas motor dalam perjalanan pulang.

"Ah santai aja loe, nggak apa-apa. Semoga aja suatu hari kita punya rejeki berlebih. Bisa bantu mereka lagi." Tanpa Reni sadari, Aida masih mengeluarkan air mata. Bayang-bayang wajah pemulung, peluh keringat anak kecil mendorong gerobak, seorang lelaki tua yang juga lumpuh, meneriakkan kerasnya hidup melalui mata mereka.

***
Sang nenek tak menyadari jika dia tertidur. Saat terbangun, perhatiannya teralihkan oleh sekotak nasi yang tergeletak di dekatnya. Diraih bungkusan itu pelan-pelan. Betapa kagetnya dia saat melihat bungkusan itu. Dua bungkusan nasi yang terakhir kali ia dapat dua bulan lalu. Hanya makanan dari sampah sebagai penyambung hidup. Tetesan air mengalir di tepi matanya. Dengan ucap syukur, sang nenek membangunkan bocah kecilnya.

"Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk siapapun yang sudah meletakkan makanan ini."

Sembari makan, sang nenek memikirkan malaikat siapa yang sudah meletakkan makanan ini dari langit.


_________

I got this inspiration from my friend. Thanks, keep it :) 
Pic taken by google
3 November



Melepas Senja

Jauh dari orangtua memang menyesakkan. Aku yang masih remaja dan baru memasuki bangku SMA, terpaksa menahan perih jika mendengar teman-temanku membicarakan orangtua mereka. Sejak peristiwa saat kelas tiga SMP, aku harus merelakan orangtuaku merantau di tempat jauh. Bersama adik dan nenekku, aku memikul beban sekaligus rindu. Rindu kepada ayah dan ibu.

***
Seharusnya, acara penamatan yang begitu meriah saat pelepasan kelas tiga SMP di sekolahku menjadi momen yang tak terlupakan. Senyum mengembang di setiap raut wajah teman-teman sekelasku. Siswa perempuan menggunakan baju kebaya, dan siswa laki-laki menggunakan batik. Setiap siswa diwajibkan mengundang orangtua masing-masing di acara penamatan. Dan aku, aku hadir di acara penamatan itu. Bagaimanapun, itu momen yang sangat berharga bagiku. Hanya saja, aku datang sendiri di tempat itu tanpa ayah dan ibu. 

Aku memakai baju kebaya khas daerahku, Bulukumba. Salah satu kabupaten di Sulawesi. Kata nenek, penampilanku sangat anggun dan cantik. Sayang, nenek nggak bisa menemaniku di acara penamatan itu. Nenek sudah tidak bisa duduk berlama-lama di sebuah acara, maklum usianya yang semakin mendekati setengah abad. 

Kulirik teman-temanku. Mereka terlihat sangat bahagia. Beberapa di antaranya adalah sabahatku. Fhya yang datang dengan orangtuanya datang menghampiriku. Dia seperti biasa, Fhya selalu tampak ceria dn sedikit manja. Fhya menanyakan kabarku dan tentunya dia tampak bingung saat melihatku datang sendiri tanpa orangtua. Aku hanya menjelaskan seadanya. Yang sebenarnya, masih kusembunyikan kalau orangtuaku pergi di Malaysia.

Acara begitu meriah. Penyambutan dari kepala sekolah serta bapak camat menambah kemeriahan acara ini. Tak ketinggalan suguhan tarian seni dan musik semakin memeriahkan acara penamatan. Aku duduk tak jauh dari panggung bersama Fhya dan kedua orangtuanya. Setidaknya, aku nggak merasa canggung dan minder yang datang tanpa orang tua. Kehadiran Fhya, membuatku bisa menikmati acara ini. 

Dan tibalah di bagian yang ditunggu-tunggu para siswa. Pengumuman tiga siswa terbaik di sekolah ini. Semua orang tahu, acara ini yang paling dinanti-nantikan. Karena, kepala sekolah sendiri yang akan memberikan penghargaan kepada siswa terpilih, apalagi disaksikan para orangtua siswa. 

Aku tak berharap banyak untuk ini. Prestasiku di sekolah memang cemerlang. Tapi, banyak juga saingannya di sekolah. Untuk menjadi siswa pilihan, ada beberapa kriteria yang akan dinilai oleh guru. Aku sendiri di acara itu, tidak memikirkan pengumuman siswa pilihan ini, sejak kepergian ayah dan ibu tiga minggu lalu, sangat membebani pikiranku. Kenapa mereka harus pergi? 

“Dini, Dini… kamu harus naik panggung.” Aku bangun dari lamunanku. Fhya mengguncang-guncang bahuku yang sedari tadi tak kusadari saat memikirkan orangtuaku.
“Eh Fhya, ada apa?”
“Ya ampun, Dini.. namamu udah di sebut dua kali, cepetan naik di panggung.”
“Hah, apa? Kok aku?” Aku menatap Fhya kebingungan.. Tanpa kusadari, banyak pasang mata yang melihatku. Kepala sekolah, sepertinya menatap juga ke arahku. 

Aku yang kebingungan, meninggalkan Fhya menuju panggung. Kuperbaiki posisi jalanku. Di panggung, aku bergabung dengan dua siswa lainnya. Mereka Santi dan Rahman. Siswa berprestasi yang juga saingan terberatku di sekolah.
“Selamat yah Dini, kamu juara pertama siswa pilihan di sekolah ini.”

Deg! Aku sangat kaget. Rahman mengucapkan selamat kepadaku. Dia dan Santi tersenyum sumringah. Aku baru menyadari jika terpilih siswa berprestasi di sekolah ini.
Sesaat sebelum pemberian hadiah dan plakat, kepala sekolah memanggil orang tua masing-masing. Rahman melambaikan tangan ke ibunya. Ibunya menaiki panggung bersama seorang laki-laki yang kukira suaminya, ternyata itu ayah Santi. Mereka langsung mengambil posisi di samping Rahman dan Santi. Sementara itu, aku bergeming.
“Nak, orangtua atau walimu ada?” Bisik kepala sekolah di dekatku.
“Maaf pak, mereka.. ibu dan ayah nggak… ada urusan mendadak pak. Jadi mereka nggak sempat hadir di acara penamatanku. Dan, maaf pak, nggak ada wali.” Aku terbata-bata menjawab pertanyaam Pak kepala sekolah. Saat itu, hatiku rasanya disayat sembilu. Sungguh, seharusnya ini menjadi acara penamatan yang paling berharga untukku. Seharusnya aku senang. Tapi, tanpa kehadiran ibu dan ayah, semuanya terasa hambar. 

Aku berusaha tersenyum saat menerima penghargaan itu. Tepuk tangan bergemuruh saat kepala sekolah memberikan plakat dan penghargaan kepadaku.
“Nak, meskipun orangtuamu tidak hadir, kamu harus tetap semangat dan mempertahankan prestasimu di jenjang berikutnya.”

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Tak banyak yang bisa kukatakan. Mereka kira air mataku adalah air mata haru. Bukan. Air mataku sesungguhnya air mata kesedihan. Sedih karena mengingat orangtuaku yang mungkin saat ini sedang bekerja di tanah rantau. 

***
Ingatan saat acara penamatan di sekolahku terngiang kembali. Aku yang kini berseragam abu-abu masih tak bisa melepaskan kekecewaan dalam hatiku. Saat ini, aku sudah menjadi siswa SMA. Masa putih abu-abu yang seharusnya menjadi momen paling berharga. Tapi, aku tak bisa seceria itu. Jauh dari orangtua, memaksaku harus hidup mandiri. Belum lagi, saat nenekku sudah sakit-sakitan. Aku mengambil semua pekerjaaan nenek yang biasanya memelihara ayam dan berkebun. Juga menjaga adikku. Beruntung aku punya adik. Keberadaan adikku mengurangi sedikit beban pikiranku saat berada di rumah. Adikku sudah kelas 1 SMP. Namanya Sam. Karena dia laki-laki, aku tidak kerepotan menjaga adikku itu. Semenjak perginya ibu mengikuti ayah, kini aku juga harus berperan sebagai ibu.

Sam, selalu membuatku tertawa saat berada di rumah. Dia adik yang lucu. Walau terpaut empat tahun dengan adikku, kami seperti dua orang sahabat yang sangat akrab. Sam, berbeda dariku. Walau jauh dari orangtua, Sam selalu saja bercerita tentang humor apalagi pengalaman-pengalamannya di sekolah. Sam tak terlihat seperti anak yang kehilangan kasih sayang orangtua. Kuakui untuk beberapa hal aku belajar ketegaran dari adikku sendiri. 

Sam hanya pernah mengungkit sekali tentang ibuku. Itupun, saat pertama kali aku memasak di rumah nenek. Kata Sam, masakanku tidak enak seperti ibu. Saat itu aku mencubit Sam. Tanpa kusadari, cubitanku meninggalkan bekas di lengan Sam. Sam merintih. Tapi dia tidak menangis. Lagi, Sam adikku hanya tersenyum. Dan mengataiku dengan mata jahilnya. 

Sudah setahun lebih aku menjalani hari-hariku tanpa orangtua. Selain ke sekolah, aku juga berperan sebagai ibu di rumah untuk adikku yah walaupun sebenarnya aku tak akan pernah seperti ibuku. Dan lagi, Sam adikku jauh lebih tegar dariku. Saat nenek sakit parah, aku sangat khawatir. Tapi, aku sangat bersyukur saat nenekku pulih kembali. Keberadaan nenek, bagikan air yang menghilangkan rasa hausku. Nenek yang sudah renta, namun rasa sayangnya tak pernah berkurang pada kami.

Hanya aku. Aku benar-benar merasa kehilangan. Walau ada Sam dan nenek, aku tak berhenti memikirkan orangtuaku. Seperti apa ayah dan ibuku di sana? Apa mereka bekerja sepanjang hari hingga jarang memberiku kabar? Belum lagi, saat pemberitaan di TV tentang penyiksaan para TKI di Malaysia membuatku merinding dan cemas. Jangan-jangan ayah dan ibu juga mengalami hal yang sama. Tapi, segera kutepis jauh-jauh pemikiran itu. Kiriman uang dari orangtuaku setiap bulan membuatku lega. Setidaknya, ayah dan ibu tidak megalami nasib mengerikan di tanah rantau. 

Aku hanya belum bisa menerima keadaanku saat berpisah dengan mereka juga saat dimana acara penamatanku saat SMP tanpa mereka. Bukan karena kepergiaan orangtuaku yang membuatku tidak ikhlas, tapi alasan mereka yang membuatku menaruh dendam kepada orang lain yang juga keluargaku sendiri.

***
Lima bulan sebelum acara penamatanku, aku pulang dari sekolah. Saat itu, aku bersenandung ria. Tak sabar ingin mengabarkan tentang nilai matematikaku yang tinggi. Namun, saat tiba di pekarangan rumah. Kulihat ibu menangis meraung. Suara kegaduhan meliputi pekarangan rumah. Ayah di pegang oleh beberapa orang. Tak jauh dari ayah, seseorang juga dipegang sekuat-kuatnya. Dia adalah pamanku sendiri. Tapi kenapa mereka berdua dilerai?

Sejak peristiwa itu, Ayah memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Kata ayah, ini lebih baik daripada menanggung malu bertengkar dengan saudara sendiri hanya persoalan sepele. Belakangan kutahu, jika paman menghina ayah di depan banyak orang karena tak sanggup membayar hutangnya. Ibu bilang, ayah baru mau membayar hutangnya, tapi pamanku keburu emosi. Dan lagi, kata ibu, paman sengaja mempermalukan ayah di depan banyak orang, agar ayah merasa terhina dan meninggalkan kampung ini.

Aku tak tahu banyak hal tentang urusan orangtuaku dengan paman. Karena saat itu, memang aku hanya fokus dengan sekolahku. Yang kutahu sejak kejadian itu, orangtuaku meninggalkan kampung halaman. Kata mereka, di tanah rantau jauh lebih baik. Setidaknya, di sana mereka dapat memperbaiki nasib. Belum lagi, ayah bercita-cita ingin menyekolahkanku tinggi-tinggi agar aku bisa membanggakannya suatu hari nanti.

***
Bulir-bulir air mata menetes di tepi mataku. Kuseka bulir-bulir air mata itu agar tidak dilihat teman-teman sekolah. Saat ini, aku sudah SMA dan sebentar lagi naik kelas tiga. Waktu memang cepat berlalu. Walau masih mengingat kenangan saat berpisah dengan orangtuaku, acara penamatan, adik dan nenekku, aku selalu berusaha untuk menjadi yang tebaik di sekolah ini. 

Ada yang berbeda saat aku menjadi siswa SMA. Semua tentang kepedihan yang kumiliki, membuatku termotivasi untuk menjadi yang lebih baik. Dan semua berawal saat aku bertemu dengan seorang teman saat pertama kali memasuki sekolah SMA ini. Namanya Rika. 

Rika merupakan teman sekelasku. Dia lebih dari sekedar teman bagiku. Rika berbeda sekali denganku. Dia cewek periang dan punya sejuta mimpi. Saat pertama bertemu pun, Rika mendapatiku menangis saat ospek di sekolah. Dia bukannya menertawaiku yang salah memakai atribut, malah Rika menjulurkan tangannya padaku.

Rika memperbaiki atribut yang kupakai, dia juga yang berbaik hati meminjamkan seragam cadangannya yang selalu dia bawa kemana-mana karena seragamku penuh lumpur saat jatuh di got. Aku tak tahu, mengapa Rika melakukan itu semua. Belakangan ini baru kutahu, kalau Rika memang seperti itu. Aku pernah mendapatinya berkali-kali menolong teman atau siapapun saat kami jalan bersama. Bagiku, Rika sosok teman yang tulus.

Kami menjalin hubungan persahabatan. Dimana ada Rika, disitu juga ada aku. Guru-guru dan teman-teman tahu kalau kami sangat bersahabat. Itu terlihat bagaimana kekompakan kami di sekolah. Rika memiliki sejuta mimpi. Dan itu yang membuatku bahagia berteman dengan dia.
Sebelumnya, aku tak pernah seceria ini apalagi dengan mimpi-mimpi. Rika membuatku bermimpi. Dia juga memberikan satu buku yang sampai detik ini kupajang di rak bukuku. Buku itu, tentang mimpi sejuta dollar. Kata Rika, aku harus membaca buku itu. Buku yang juga menjadi favoritnya.
Aku membaca buku itu sampai habis. Tak hanya Rika, aku kini memiliki harapan-harapan. Kupikir, aku juga ingin bermimpi. Memiliki mimpi seperti Rika dan juga Marry Riana yang kini menjadi idolaku. 

Adikku Sam sudah kelas dua SMP. Masih seperti dulu, dia tetap adikku yang ceria. Nenek kini semakin membaik, walau kadang penyakitnya kambuh. Di rumah, Rika sering berkunjung bahkan sampai menginap. 

Aku tak tahu, jika tidak bertemu dengan Rika. Mungkin, aku masih seperti yang dulu. Edel yang pendiam dan terlalu banyak memikirkan nasib. Tentang orangtuaku, kenapa paman begitu mempermalukan ayahku di depan orang banyak, dan tentang kehidupan keluargaku. Aku menyangka jika yang paling memprihatinkan hidupnya hanyalah aku. Namun, di luar dugaanku. Rika sendiri sejak kecil sudah ditinggal orangtuanya. Bahkan ibunya meninggal karena penyakit kanker. Rika menjelaskan semua kisahnya tanpa tetes airmata malah dia hanya tersenyum.

Kata Rika, kita harus berdamai dengan masa lalu. Orang yang pergi di kehidupan kita meskipun kita sangat menyayangi mereka, mereka bukan miliki kita seutuhnya. Karena bagaimanapun, mereka yang kita miliki akan kembali kepada Tuhan.

Aku kagum dengan pemikiran Rika yang sangat dewasa berbeda jauh dengan umurnya. Rika hanya mengatakan bahwa pengalamanlah guru terbaik seseorang. 

***
Aku duduk saat senja menghiasi langit jingga di anjungan Losari Makassar. Kini, bukan hanya orangtuaku yang jauh dariku terpisah oleh laut, tapi juga Rika yang pergi mengejar mimpinya. Kami sudah menjalani kehidupan masing-masing. Aku kuliah di jurusan managemen sesuai mimpiku. Meski begitu, aku tetap ingin menjadi penulis. Dan Rika, dia ingin menjadi pengusaha sukses kaya raya seperti Marry Riana. Semoga saja, mimpi-mimpi itu bisa kami gapai. Kata Rika, rasa sakit itu seperti senja. Jangan jadikan rasa sakit itu seperti es dingin yang akan membeku di dalam hati. Jika pun membeku, kau harus mencairkan es beku itu di hatimu.

Aku bergumam sendiri sembari menikmati anging mamiri di Losari. Aku melepas senja dengan simpul senyum yang melepas kenangan. Aku rindu dengan ayah dan ibu yang masih bekerja di tanah rantau, juga rindu dengan Sam yang kini sudah SMA, aku juga rindu dengan almarhum nenek yang meninggal sebelum ujian nasional. Bagiku, rindu sangat menyayat hati, dan lagi, aku tak boleh larut dalam kesedihan, apalagi cengeng. Kata Rika saat terakhir kami bertemu, aku nggak boleh jadi cewek cengeng. Anggap saja, semua itu adalah senja. Selalu datang setiap hari di penghujung hari, namun senja juga akan pergi. Maka, akupun harus melepas kenangan-kenagan itu, seperti melepas senja.

“Trima kasih Rika aku berjanji untuk tidak larut dalam kesedihan apalagi menjadi cengeng seperti katamu…” gumamku dalam hati.

------
Pict taken by google


Member of Stiletto Book Club

Komunitas Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Member of Warung Blogger

Warung Blogger

Member of Blogger Perempuan

Member Hijab Blogger

Free "Care" Day

Free "Care" Day