Ini kisah tentangku dan Hannah lima tahun yang lalu. Tak kusangka saat membuka kembali buku diary yang sudah kusam ini, hubungan kami ibarat langit dan bumi. Namun, ada kerinduan yang selalu membuat ingatanku mencari sosok itu, berharap ia akan kembali, tertawa bersama, menangis bersama, dan berpetualangan bersama-sama. Kami punya mimpi, menggantungkannya pada langit setinggi-tinggi mungkin, biarlah jika itu tidak terwujud, asal aku dan Hannah selalu bersama-sama. Namun…
***
“An, kamu aja yah yang ikut kegiatan eskul di sekolah. Aku nggak bisa, soalnya…” belum selesai kuutaraan maksudku pada Hannah, dia langsung menggiringku ke suatu tempat.
“Gila kamu! Del, kamu udah janji mau ikut kegiatan itu juga. Kamu lupa?” Suaranya meninggi, Hannah sesungguhnya lebih cocok menjadi kakakku atau Ibuku ketimbang menjadi sahabatku sejak setahun terakhir.
“Maaf, tapi…”
“Tapi apa?” gurat di wajahnya semakin menegangkan. Dia tahu semuanya tentang diriku, bahkan hal-hal terkecil sekalipun. Hanya saja, aku merasa Hannah sedikit berlebihan.
“Buat apa An, aku sudah tidak punya motivasi apa-apa lagi.” Aku mengangkat bahuku tanda pasrah. Lebih tepatnya menyerah dengan keadaan. Sejak kepergian Ayah, aku merasa hilang arah dan tujuan. Ayah yang begitu kucintai telah pergi. Sedang Ibu? Hubunganku dengan Ibu tidak layak disebut sebagai Ibu dan anak. Lebih tepatnya hubungan kami seperti Tom and Jerry. Setiap ada ibu di rumah di sanalah akan dimulai pertengkaran.
“Aku tahu Del, kamu sedang sedih. Tapi nggak harus begini kan? Ingat mimpi-mimpi kita.” Hannah, gadis berkacamata yang tinggi badannya jauh dariku berusaha meyakinkanku untuk mengikuti kegiatan eskul, dia yang paling tahu tentang bakatku. Hanya saja…
“Baiklah An, tapi ingat yah kamu nggak boleh jauh-jauh saat kegiatan berlangsung.” Akhirnya aku mengalah juga. Belakangan ini aku lebih banyak mengikuti saran Hannah. Jika saja waktu bisa diubah, mungkin aku akan meminta Tuhan untuk menjadikan Hannah sebagai Ibuku, bukan Ibu yang sekarang. Aku benci!
“Nah dari tadi dong. Yaudah Del, kamu tunggu di sini yah. Aku ke perpustakaan dulu balikin buku ini.” Hannah tersenyum sumringah, dia benar-benar menang sekarang. Tapi tak apa, toh memang dia berhak setelah persahabatan kami terjalin. Kupandangi langkah Hannah meninggalkan koridor tempat aku duduk sekarang hingga tak lagi kulihat punggungnya. Ingatanku kembali pada peristiwa setahun lalu, saat pertama bertemu dengannya.
***
“STOOOOP!!!! HEY BAJINGAN!!!” Suaraku tercekat saat melihat kedua pengendara itu lenyap ditelan oleh jarak. “SIAL!” umpatku dalam hati. Namun, aku segera melupakan kedua pengendara brengsek yang telah menabrak seorang siswi berseragam sama dengan seragamku. Aku berlari meraih tubuh yang tergeletak bersimpah darah itu di jalanan.
“Tolongg….Tolongg….” Jalan Pendidikan sangat lengang, tak ada siapa-siapa yang lewat, pengendara, mobil, kemana mereka? Kulirik jam di tanganku, pukul 06.30, pantas saja. Lalu kenapa gadis ini bisa sampai tertabrak? Pakai seragam sekolah lagi. Ini kan hari minggu.
Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu pikiranku, namun rasa cemasku saat ini jauh lebih besar. Aku harus menelpon Ayah.
Sejam kemudian
Aku dan Ayah duduk menunggu di depan ruang UGD RS. Wahidin. Wajah Ayah menampakkan kecemasan di sana, aku tahu apa alasannya. Kematian kakakku di ruang UGD membuat Ayah trauma melangkahkan kaki ke rumah sakit apalagi melihat ruang UGD. Namun, apa yang kuperbuat hari ini justru membuatku merasa bersalah pada Ayah.
“Yah, maaf.. aku ng…nggak bermaksud merepotin Ayah hari ini.” Yang bisa kulakukan hanya meminta maaf, takut jika penyakit Ayah kambuh lagi.
“Nggak apa-apa nak. Justru Ayah bangga dengan kamu. Kamu sudah menyelamatkan nyawa orang Nak.” Ayah mengusap ubun-ubunku dan merangkulku dengan erat. Belum pernah kurasakan kasih sayang Ibuku sendiri seperti kasih sayang Ayah.
“HEI!!! Del, halooo Del.” Bayangan tentang masa lalu saat pertama kali bertemu dengan Hannah buyar seketika.
“Yeee ngelamunin siapa hayoooo?” Hannah tak cukup puas mengganggu nostalgiaku, kini dia juga meledekku. Aku memasang wajah cemberut.
“Ushhh usil banget sih kamu. Yuk balik ke kelas.” Buru-buru kualihkan ledekan Hannah sebelum membengkak ledekannya. Kami berjalan bersama memasuki kelas. Untuk semua yang telah terjadi, saat kepergian Ayah beberapa bulan lalu, tentang perilaku Ibu yang hampir membuatku gila, terbayar tuntas dengan kehadiran Hannah sebagai sahabatku. Aku tahu, semuanya tidak begitu sepadan, namun untuk semua perstiwa yang sudah kualami, aku tahu bahwa Tuhan Maha Adil. Jika saja bukan karena keelakaan itu, mungkin sampai detik ini aku tak akan pernah bertemu dengan Hannah.
***
“Yuhhuuuu akhirnya kita lulus, selamat yah An.” Aku menitikkan air mata sesaat setelah acara penamatan kelas tiga SMA. Aku dan Hannah lulus dengan nilai yang memuaskan. Meski Hannah tidak masuk lima besar, impian kami untuk kuliah di tempat yang sama akhirnya terwujud.
“Sama-sama Del, kamu juga yah.” Kami berpelukan. Acara penamatan ini benar-benar menyiksaku. Rasanya, aku tak bisa melepaskan semua kenangan di sekolah ini. Saat pertama kali Ayah mengantarku mendaftar, saat pertama kali aku menemukan cinta pertamaku meski bertepuk sebelah tangan, saat aku hampir berhenti sekolah saat kepergian Ayah, dan saat tak ada lagi mimpi yang tersisa dan di sanalah Hannah menemaniku, membuka kembali harapan baru tentang mimpi-mimpi, aku telah tersedot oleh mimpi-mimpi Hannah.
“Yuk, kita ke tempat favorit.” Ajak Hannah yang tanpa aba-aba dariku langsung mengikutinya.
Kami duduk di samping sekolah yang jauh dari keriuhan. Saat ini, teman-teman sekelasku masih berkumpul di aula, merayakan suka cita penamatan di sekolah.
“Sawahnya keren yah Del, semakin besar semakin menghijau, memandangnya dari jauh seakan melihat padang rumput hijau yang luas, saat memandangnya dari jarak dekat, padi seolah mengajarkan kita sesuatu.” Hannah menatap tak seperti biasanya. Kali ini, dia menatap ke sawah dengan tatapan aneh. Seolah ada sesuatu yang hilang darinya. Entahlah.
“Iya An, saat dekat, padi mengajarkan kita tentang kerendahan hati. Semakin berisi semakin merunduk. Sebentar lagi kita akan pindah ke kota, bakal tinggal jauh dari kampung halaman. Bisa nggak yah kita bertahan?” Ada gurat kecemasan di wajahku. Namun, seketika Hannah merangkulku, seperti seorang Ibu yang hendak mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Kita harus yakin Del, ingat tentang mimpi-mimpi kita. Kita harus bisa menjadi orang sukses! Membuktikan kepada orang-orang dan diri kita sendiri bahwa kita bisa!” Hannah mengepalkan tangan kirinya ke arahku, seolah menyorakiku yang tengah ikut lomba, aku tak lagi asing dengan caranya yang menyemangatiku. Semangatnya seperti kobaran api, menyala, membakar jiwa yang hampir putus asa dalam bermimpi.
“Aku tentu akan kuat An, bila ada kamu. Please, saat kita tinggal di kota jangan tinggalkan aku.” Sayangnya kata-kata ini hanya bisa kuutarakan dalam hati. Tak mungkin kuucapkan kata-kata ini pada Hannah. Aku sudah yakin tentang mimpi-mimpi yang telah kami rangkai. Dan semakin kuat keyakinanku akan mimpi yang harus kami wujudkan, maka akan semakin besar keraguan hinggap di benakku.
Sore itu adalah sore terakhir bersamaku dengan Hannah di samping sekolah dekat persawahan, kami yang sama-sama merayakan hari kelulusan tanpa orangtua mencari cara tersendiri untuk meninabokokkan hati yang sebentar lagi memecahkan tangis. Tangis betapa perih merayakan kebahagiaan tanpa orangtua.
***
Kututup bacaan terakhirku pada buku diaryku yang sudah kusam. Memori tentang kebersamaanku dengan Hannah berakhir di sore itu, tersimpan rapat dalam tulisan di diary ini, berakhir dalam mimpi yang entah kapan aku mewujudkannya. Hannah sudah menjadi pengusaha sekarang. Tahun pertama saat kuliah semuanya berjalan lancar, namun di hari-hari berikutnya, kami disibukkan oleh urusan masing-masing.
Kami kuliah di jurusan Ekonomi, di awal kupikir jurusan ini akan sangat membantuku kelak saat meniti karir, namun semuanya sirna seiring berjalannya waktu. Aku tak benar-benar menyukai jurusan ini. Karena keinginan hatiku satu-satuya adalah kuliah di jurusan sastra, Akan tetapi, tempatnya sangat jauh, aku tak memiliki siapa-siapa, dan lagipula, mimpi Hannah telah menyeretku masuk ke dalam mimpi-mimpinya. Kukira diriku sama dengan Hannah, bermimpi ingin menjadi pengusaha sukses. Nyatanya, aku tak bisa melakukan bisnis apapun, semakin kupaksa melangkah ke sana, semakin jauh luka kutorehkan dalam batinku.
“Hannah aku ingin kuliah di jurusan sastra.” Namun, keinginan itu terlampau telat kukabulkan. Tak mungkin bagiku mengulang semuanya ke titik nol, mengingat biaya yang disimpan Ayah sepeninggalnya semakin berkurang. Kini, mimpi-mimpiku bersama Hannah kusimpan dalam sebuah etalase.
Aku tak tahu bagaimana Hannah yang sekarang. Dia terlalu sibuk dengan mimpinya yang memang sesuai dengan passion-nya, sementara aku? Aku terombang-ambing dengan mimpiku. Namun, aku bahagia, melihat Hannah bisa meraih mimpinya.
Aku tak ingin menjadi bagian yang terlupakan dalam hidupmu Hannah, namun aku juga tak bisa mendatangimu setelah semua mimpi kukunci rapat-rapat dalam etalase. Kamu pun tak bisa membuka etalase itu. Sebab jarak kita sudah terlampau membentang arah. Aku bumi dan kau langit.
Etalase mimpiku lahir karena kekecewaan pada diriku sendiri, pun aku kecewa karena kamu bukan Hannahku yang dulu lagi. Haruskah kusimpan semua ingatan tentang persahabatan kita dalam etalase?
“Tidak!” Suara hatiku masih hidup di sana, Ia adalah suara rindu pada sosok dirimu yang dulu. Meski aku ingin, namun tak bisa membencimu. Cukuplah kenangan tentang merajut asa tersimpan dalam etalase mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar