Surat Kepada Kawan


Aku ingin menyapamu, "Hai Kawan..." Tapi kalimat ini menggantung,
memenuhi rongga udara yang mulai kurasakan sesaknya
saat aku menyadari seuah kenyataan.

Aku pernah merutuki kenyataan saat semua benar-benar berubah,
saat tak ada lagi ruang untuk berbagi suka cita,
ruang di mana kau dan aku masih bersama sebagai, "sahabat"

Dulu, kau curahkan segala keluhmu, segala kesedihamu,
kita begitu akrab.
Dulu, kau paling gemar memotret diri dengan sunggingan senyum di wajahmu,
memperlihatkan gigi-gigimu yang putih

Aku mencoba meghibur diri, melupakan kebersamaan saat kau dan aku masih "sahabat"
berkenalan dengan dunia sekitarku, berkenalan dengan mereka yang juga
kuharap bisa menjadi sahabatku.
Namun, yang kutemukan hanya kehampaan.

Sesekali kuintip kabarmu melalui akun pribadimu,
nampaknya kau baik-baik saja. Selalu, dan begitu gumamku.
Mengambil dalih bahwa, tanpaku kau baik-baik saja.
Mengapa berat rasanya berdamai dengan perubahan darimu?

Jika kau bertanya, apakah aku baik-baik saja? Sejujurnya, aku berusaha terlihat baik-baik saja.
Mengejar potongan impian yang sempat terlupa kala itu.
Aku merasa kehilangan sesuatu, aku kehilanganmu kawan.

Aku takut menghadapi gelap sendirian, takut dengan sesuatu yang asing.
Dulu, kau pernah berjanji, akan selalu ada untukku, untuk mimpi-mimpi kita.
Bukankah kau yang paling meyakinkanku tentang mimpi-mimpi itu kawan?

Tapi, saat waktunya tiba, mengapa kau pergi dengan dirimu yang lain?
Meninggalkanku sendiri....  

-----------
November 2016
pic by google

Bapak, Jangan Pergi


Aku menunggu dalam keremangan cahaya matahari yang mulai redup. Katakanlah itu senja. Waktu di mana aku selalu menunggu kedatangan Bapak dari berkebun. Bapak hanyalah seorang petani yang menggantungkan nasibnya pada hasil pertanian yang kadang mengalami gagal panen jika musim tidak mau bersahabat. Saat ini umurku sudah lima belas tahun menginjak usia remaja dan duduk di bangku SMP. Meski di usia yang sudah remaja,  aku masih bersikap seperti anak kecil yang tidak bisa berpisah dari orangtua terutama Bapak. Bagiku, Bapak adalah tumpuan harapan sekaligus teladan. Bapak tidak pernah memarahi apalagi membentakku. 

Di teras rumah, aku selalu menunggu Bapak sembari memandangi langit jingga. Aku tidak tahu kenapa saat memandangi senja, ada rasa yang membuatku tidak pernah jenuh menunggu Bapak pulang dari kebun. Namun, senja di sore hari ini membuatku gusar menunggu kedatangannya yang entah belum muncul hingga langit jingga memudar berganti dengan awan pekat di langit. 

“Nak, masuk di rumah. Sudah mau adzan, wudhu sana.” Suara ibu membuyarkan lamunanku dalam tanya tentang kepulangan Bapak.
“Tapi Bu, Bapak belum pulang.” Suaraku mulai bergetar. Ada rasa cemas menggantung di sana.
“Sabar nak, mungkin Bapakmu masih di kebun.”

Aku memilih diam dan tidak mau mendebat ibu. Kata Bapak, aku tidak boleh melawan Ibu karena Ibu adalah surgaku. Aku belum paham maksud perkataan Bapak saat itu dan baru kumengerti di kemudian hari. Sekali lagi kuarahkan pandanganku ke depan, bukan untuk menatap langit yang warnanya sudah berganti dari jingga ke hitam pekat, namun melihat jalan setapak depan rumah memastikan kedatangan Bapak. Sia-sia. Aku membalikkan badan, melangkahkan kaki memasuki rumah.

“Andi.. Andi… Mana Ibumu?” Suara itu terdengar memburu, wajahnya terlihat gusar. Kupandangi sekali lagi pemilik suara itu, ah dia Pak Iwan tetanggaku. Mengapa dia berlari ke rumah dengan suara yang bergetar dan raut wajah yang pucat?
“Ada apa pak? Ibu ada di dalam. Mau shalat.” Aku hanya menjawab seadanya.
“Ini penting!” Tanpa menunggu respon dariku, Pak Iwan masuk ke rumah membuatku sedikit kesal, karena masuk tanpa permisi dan terburu-buru. Mataku tertuju pada badik yang bergantung di pinggang Pak Iwan. Astaga! Badik itu meneteskan darah di lantai, menyisakan bintik-bintik darah di setiap lantai yang dilewati Pak Iwan.
“Ibu….!” Aku menyusul Pak Iwan ke dalam rumah. Pikiranku berkecamuk tentang badik dan apa yang sudah terjadi. Hari itu manakala langit jingga memudar, semuanya telah berubah. Hidupku benar-benar berubah sejak hari itu.
***
“Bapak, boleh Andi ikut berkebun?” Pintaku pada Bapak yang hendak bergegas ke kebun sembari membawa cangkul.
“Nanti saja nak, hari ini Bapak pulangnya agak terlambat, temani saja Ibumu menjemur padi.” Raut wajah Bapak selalu seperti biasa, tersenyum ramah. Entah hanya perasaanku saja, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Pandangan mata Bapak tidak seperti biasanya. 

“Tapi Pak, Andi pengen ikut…” Meski dilarang, tidak mudah bagiku menyerah meminta Bapak mengijinkanku pergi, bukannya melawan perintah Bapak, aku hanya tidak mau menyerah begitu saja. Lagipula kegiatan berkebun memang ditularkan Bapak sejak aku masih kecil. Hanya saja semenjak duduk di bangku SMP, Bapak lebih sering melarangku berkebun dan malah menyuruhku fokus belajar.

“Andi, dengar Bapak baik-baik.” Bapak meletakkan cangkulnya kemudian menghampiriku.
“Bapak mau melihat Andi sukses, jangan seperti Bapak yang kerjanya hanya bisa bertani di kebun. Ingat nak, cita-cita Bapak menyekolahkanmu. Kamu harus jadi orang saat dewasa nanti. Buktikan ke Bapak kalau kamu anak yang baik, sekolah yang rajin Nak supaya saat kamu kerja, Andi pakai seragam tidak kayak Bapak, pakaiannya compang-camping.” Gigi geraham bapak terlihat saat menyunggingkan senyumnya tepat di akhir kalimat. Bagi bapak, apapun profesi seseorang asal dia memakai baju seragam akan terlihat sangat elit dan berkelas bahkan officer sekalipun. Aku tidak pernah mengerti alasan kenapa Bapak memiliki pandangan lain tentang baju seragam dan profesi, bagiku petani adalah profesi nomor satu. Presiden sekalipun tidak akan bisa makan tanpa hasil jerih payah dari petani. Sejak dulu saat masih SD cita-citaku cuma satu. Aku ingin menjadi petani. Namun, cita-cita itu belum pernah kuutarakan kepada bapak. Aku tidak mau melihat gurat kekecewaan di hati bapak.

“Andi temani Ibu menjemur padi Nak!” Suara Ibu membuat aku dan bapak serempak menoleh di samping rumah yang memiliki tanah lapang. Tempat di mana Ibu selalu menjemur hasil panen padi. Bapak bergegas kembali, mengambil cangkul yang diletakkan lalu tersenyum ke arahku sembari memberi isyarat agar aku membantu Ibu. Aku hanya bisa diam dan sepertinya tidak bisa merengek ke Bapak lagi untuk ikut berkebun. 

“Nak, temani sana ibumu. Ingat kau adalah laki-laki kedua di rumah ini setelah Bapak. Jangan pernah biarkan perempuan berpeluh keringat karena pekerjaan kasar. Bapak pergi dulu.” Seutas senyum dari Bapak meredam kekecewaanku yang gagal ikut ke kebun. Diam-diam aku mengagumi Bapakku sendiri, cara dia mendidikku dan bagaimana Bapak memperlakukan Ibu. Kupadangi matanya lekat-lekat, mata yangs selalu teduh dan sabar.

“Pak, kalau pulang Andi minta dibawaain ikan yah Pak, tapi jangan yang mati, Andi mau pelihara ikan.” Sergaku berpesan dengan riang sebelum bapak pergi.
“Insya Allah nak.” Mataku menyusuri setiap langkah Bapak meninggalkan rumah. Kini, hanya punggung Bapak yang tersisa di pandanganku, lalu menghilang di kejauhan. Entah mengapa, perasaan rindu tiba-tiba menyeruak di hatiku pada Bapak. Segera kutepis perasaan aneh yang menyelusup tiba-tiba, aku berlari menuju ibu yang tengah menggelar tikar untuk menjemur padi. Aku bersyukur, sangat bersyukur kepada Allah yang menganugerahiku dua permata, membesarkanku dalam kasih sayang, mendidikku dengan cinta. Tidak ada yang mampu membalas kebaikan mereka. Ibu, Bapak, aku sayang kalian…
***
“Tidaaakkkk….!!!” Suara tangisan Ibu memecah keheningan. Kabar yang dibawa oleh Pak Iwan seperti petir yang menyambar-nyambar memekikkan telinga, membuat hati Ibu pecah berkeping-keping. Kabar itu pula yang membuatku tidak berdaya, hanya berdiri mematung di dekat pintu melihat Ibu meraung-raung dalam tangis. Sementara Pak Iwan sibuk menenangkan Ibuku. 

“Kenapa Pak, kenapa seseorang tega melakukan itu kepada suami saya?” Suara itu bergetar, isak tangis lebih memerihkan hati bagi yang mendengarnya.

“Sabar Bu, tenang, tenangkan diri dulu.” Badik yang menngantung di pinggang Pak iwan kini dilepas, membiarkannya tergeletak di atas kursi tamu. Aku hanya bisa diam lagi dan lagi memandangi badik itu yang bersimbah darah.

“Begini ceritanya Bu Yati, saya dan pak Amar dalam perjalanan pulang, kami melewati beberapa kebun. Saat tiba di kebun juragan Rijal, kami mendengar keributan. Karena penasaran, kami mendekati sumber keributan itu. Dan saat sampai di sana, kami sudah mengerti apa yang terjadi. Dua orang anak buah juragan Rijal bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah. Keduanya membawa senjata tajam. Mereka menggunakan badik Bu Yati, Badik! Tidak ada yang berani mendekat termasuk kami. Dan tiba-tiba suamimu, Hasan berlari mendekati mereka, Hasan mencoba meleraikan mereka. Hasan hampir berhasil meleraikan mereka, walau terpaksa melakukan kekerasan fisik. Namun, salah satu anak buah juragan emosi dan menyerang secara membabi buta. Dia menusuk Hasan dengan badik. Dan..” Ibuku menghentikan penjelasan pak Iwan. Ibu tidak sanggup mendengar lagi kejadian yang dialami Bapak, berita ini sungguh mengguncang jiwa Ibu, bagaimana mungkin Bapak harus terkena badik saat meleraikan anak buah juragan Rijal?

“Sudah Pak, saya hanya mau tahu, di mana suami saya sekarang?” Mata ibu sudah bengkak, Ibu menatap Pak Iwan penuh harap.
“Itulah kenapa saya datang ke sini Bu Yati. Mari ikut saya, kita ke rumah sakit.” Pak Iwan bergegas mengantar ibu ke rumah sakit. Sementara badik yang tegeletak di atas kursi itu tidak ada yang memerdulikannya. Aku beringsut, kutunggu aba-aba dari ibu.

“Andi, kamu jaga rumah yah nak.” Ingin sekali aku menolak permintaan ibu. Namun saat ini, lidahku sangat kelu. Jangankan bertanya kepada Pak Iwan perihal bapak, menjawab perkataan ibu saja aku tidak bisa. Lidahku benar-benar kelu. Seperti hatiku yang diguncang kabar kengerian yang dialami Bapak. Perlahan, aku hanya mengangguk. Secepat kilat Ibu pergi mengikuti Pak Iwan. Bahkan Ibu sendiri lupa untuk shalat. Ya Allah… cobaan apa ini.

Saat senja benar-benar pergi dari langit yang selalu kurindukan, berganti dengan malam yang pekat, aku menutup pintu rumah. Di dalam rumah yang berukuran sederhana ini, aku menangis sejadi-jadinya.

“Ya Allah.. kumohon, jangan biarkan Bapak pergi.”

“Maaf Pak, aku tidak bisa menjaga pesanmu yang satu ini. Agar laki-laki tidak boleh mengeluarkan air mata, karena air mata seorang laki-laki adalah keringat. Aku tidak bisa menahan air mataku lagi Pak.”

Dalam isak tangis yang tidak bisa kutahan, aku meringkuk di atas sajadah. Berharap akan ada keajaiban. Berharap, saat Ibu pulang bukan berita buruk yang kudengar. Mataku terasa bengkak dan berat. Samar-samar kudengar suara jangkrik memenuhi keheningan malam. Aku tertidur dalam isak tangis, dalam doa penuh harap, dalam rasa cemas yang mendalam.

“Bapak jangan pergi…”

-------
November 16
pict by google

[REVIEW BUKU] Winter In Tokyo

Penulis: Ilana Tan
 
Penerbit: Gramedia
 
ISBN: 978-979-22-3983-6
 
Cetakan 1: Agustus 2008
 
Tebal: 320 Halaman
 
MyRate: 4/5
 
BLURB
 
Tetangga baruku, Nishimura Kazuto, datang ke Tokyo untuk mencari suasana yang berbeda. Itulah katanya, tapi menurutku alasannya lebih dari itu. Dia orang yang baik, menyenangkan dan bisa diandalkan.
Perlahan-lahan—mungkin sejak malam Natal itu—aku mulai memandangnya dengan cara yang berbeda. Dan  sejak itu pula rasanya sulit membayangkan hidup tanpa dia.
Keiko tentang Kazuto

Sejak awal aku sudah merasa ada sesuatu yang menarik dari Ishida Keiko. Segalanya terasa menyenangkan bila dia ada. Segalanya terasa baik bila dia ada. Saat ini di dalam hatinya ada seseorang yang ditunggunya. Cinta pertamanya. Kuharap dia bisa berhenti memikirkan orang itu dan mulai melihatku. Karena hidup tanpa dirinya sama sekali bukan hidup.
Kazuto tentag Keiko

Mereka pertama kali bertemu di awal musim dingin di Tokyo. Selama sebulan bersama, perasaan baru pun terbentuk. Lalu segalanya berubah. Suatu hari salah seorang dari mereka terbangun dan sama sekali tidak mengingat semua yang terjadi selama sebulan terakhir, termasuk orang yang tadinya sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya….
 ***

“Orang yang membutuhkan perubahan suasana biasanya ingin melupakan sesuatu. Bukankah begitu?” Hal. 63

Selama tiga belas tahun, Keiko menunggu cinta pertamanya. Ia tidak tahu seperti apa dan dimana seseorang yang sudah menemukan kalungnya di sekolah, saat musim dingin. Namun, pesona dan senyum hangat dari seseorang itu diam-diam menumbuhkan perasaan lain di hati Keiko. Ia bertekad untuk menemukan cinta pertamanya karena ia yakin, suatu saat akan bertemu dengan pria itu.

Kazuto, seorang Photografer dan pelukis itu, baru saja tiba di Tokyo setelah menempuh perjalanan dari New York. Mungkin, menjauh adalah cara terbaik untuk melupakan perasaannya kepada seseorang yang selama ini dia cintai. Sialnya, gadis yang dicintai Kazuto akan menikah dengan sahabatnya sendiri. Sejak saat itu, Kazuto memilih Tokyo untuk menenangkan pikirannya. 

Mereka dipertemukan dalam sebuah apartemen yang berada di salah satu kota Tokyo. Kamar mereka bersebelahan. Di apartemen itu pula, Kazuto merasakan kehangatan kebersamaan untuk pertama kalinya bersama orang asing. Haruka, kakek Osawa, Tomoyuki, dan Keiko. 

“Dia lahir lima menit setelah kakak kembarnya. Dia tidak bercita-cita menjadi model. Dia senang bekerja di perpustakaan, suka membaca buku, suka mengomel dalam bahasa Indonesia, dan suka menonton balet. Pikirannya juga suka melantur ke mana-mana. Dia takut gelap dan tidak bisa memasang bola lampu...” Hal. 278

Selama sebulan kebersamaan saling mengenal antara Keiko dan Kazuto, ada banyak kejadian kecil yang membuat mereka mengenal satu sama lain. Namun, di saat itu pula pada musim dingin, Keiko bertemu dengan cinta pertamanya. Bagaimana dengan Kazuto? Akankah dia bisa menyatakan perasaannya pada gadis yang takut gelap itu, sesaat setelah Kazuto mengalami kecelakaan? 

“Seharusnya ia tahu. Seharusnya ia sadar. Mimpi tidak akan bertahan lama. Ia boleh saja hidup dalam mimpi, tetapi cepat atau lambat kenyataan akan mendesak masuk. Dan ketika kenyataan mendesak masuk dan berhadapan denganmu, kau hanya bisa menerimanya.” Hal. 256

Dua jempol deh buat novel ini. Gila, aku suka bangeeet. Ketinggalan sih memang, soalnya baru berjodoh dengan buku Ilana Tan. Ini juga kali pertama bagiku membaca karya Ilana Tan. Sebenarnya, nama penulis udah nggak asing di telingaku, begitu juga saat film Wnter In Tokyo launching bulan Agustus lalu. Tapi, aku lebih suka baca bukunya, meskpun filmnya nggak kalah seru sih sebenarnya. Hehehe

Pertama, aku sangat menyukai alur dalam novel ini. Penulis sangat keren banget deh mendeskripsikan situasi pada tokoh masing-masing. Yang namanya novel romance, kejadian konyol dan hal-hal kecil bisa membawa readers senyam-senyum saat membacanya. Nah, apalagi dengan karakter Keiko, duh gemesin banget.

Kalau aku jadi Keiko, aku bakal bingung milih Kazuto apa cinta pertamanya. Soalnya dua-duanya kereen banget, hehehe. Tentu saja, penulis dengan lihai menumbuhkan konflik di antara mereka. Yang saat membacanya, perasaanku campur aduk, gemes, sedih, deg-degan, duh pokoknya campur aduk

Aku paling suka baca novel yang tokoh utamanya penyuka buku dan hobby membaca, sama nih kayak Keiko, apalagi dipadukan dengan Kazuto yang seniman dan terkesan misterius gitu. Oiya, pria cinta pertama Keiko, sebenarnya, masih membuatku penasaran sampai saat ini. 

Penulis menggunakan sudut pandang ketiga serba tahu. Well, aku juga menyukai jenis sudut pandang ini, dan menariknya, seolah penulis menjadi bagian dari cerita ini, maksudku, saat readers membacanya, menyelami kisah dalam novel ini, terasa nyata. 

Untuk ending, beneran deh aku masih mau baca, tapi udah habis. Tuh kan jadi ketagihan baca. Hihi…

“Kalau laki-laki sudah tidak suka pada seorang wanita, laki-laki itu tidak akan menemuinya lagi, tidak akan menghubunginya lagi.”

Adegan yang sempat membuatku kaget itu saat kedatangan gadis masa lalu Kazuto yang masih disukainya itu datang dari New York dan saat Kazuto mengalami kecelakaan di waktu yang tidak tepat. Kimplit dah. Penasaran kan readers kelanjutannya?

“Kau selalu bisa menangis di bahuku kalau memang mau.” Hal. 175

Buku ini aku recommended bagi kamu yang menyukai novel romance dan metrotop. Melalui buku ini, readers akan di ajak tuh jalan-jalan menyusuri suasana Winter di Tokyo. Hihi

“Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?” Hal. 68

 selamat membaca :)
selamat jatuh cinta :)))
 

Tanya Penulis novel Memori Untuk Ibu: Hadi Winata, Menulis Sekaligus Berdakwah

Assalamu alaikum teman-teman book lover, apa kabarnya, sehat? 

Kali ini di blog Pena Edelweiss lagi kepoin penulis muda asal Palembang ini nih gaess, kabar baiknya, kak Hadi baru menerbitkan buku loh baru-baru ini. Pasti penasarankan seperti apa sosok penulis Memori Untuk Ibu ? Yuk ah tanya-tanya penulisnya dulu hihi...

***
Assalamualaikum kak, kesibukannya apa nih sekarang? Nggak apa-apa kan yah kepoin kakak dikit seputar kepenulisannya, hihi 😊

Walaikumsalam Warahmatullah. Maaf bales wawancara online-nya lama kak, soalnya sekarang lagi sibuk kompetisi pemilihan Duta Bengkulu. Maaf ya :) Iyaa, gapapa, kok!

Yeay! Kalau boleh tau, sejak kapan sih kk mulai menekuni dunia kepenulisan? Dan apa karya pertama kk saat itu?

Kalo suka sama cerita udah sejak kecil. Tapi, serius menulisnya baru dua tahun belakangan ini, itu juga kebanyakan nulis karya tulis ilmiah buat lomba. Dulu, karya pertama yang saya buat itu cerpen, tapi agak panjang gitu, dan ceritanya based on true story, hehe.
 
Wah ternyata cerpen yah kak. Nah mengenai novel "Memori Untuk Ibu" ini kan genre remaja dan religi, kenapa kk mengambil genre ini? Apa itu memang sesuai passion kk? 

Saya masih muda, dan tentunya karena saya islam saya ingin berbagi cerita yang bukan cuma sekadar cerita. Tapi, saya ingin berbagi cerita yang jika orang selesai membacanya akan termotivasi dan mendapatkan ilmu. Pokoknya bermanfaat! Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat :)) Menulis genre islami tentunya sama dengan berdakwah, ya, walaupun cuma dakwah kecil-kecilan. Dan semoga dengan menulis islami maka banyak mendatangkan manfaat, kepada siapapun itu. Saya juga mengharap pahala sebenarnya, hoho. Lumayan kan buat tabungan di akherat?


Bener banget kak. Btw mengenai proses, butuh berapa lama sih untuk menyelesaikan novel kk ini?

Kalau ide novelnya sendiri sebenarnya udah ada sejak 6 bulan yang lalu, tetapi saya baru menuliskannya 2 bulan terakhir ini kira-kira.

Oiya kalau boleh tau kendala terbesar kk saat menulis novel ini apa kak?

Kendalanya apa, ya? Sebenarnya banyak, cerita ini sebelumnya ruwet. Ruwet sekali! Tapi, kalau kita mau berusaha pasti ada jalan keluarnya. Alhamdulillah, novelnya jadi dan alurnya seperti mengalir. Padahal sebelumnya ruwet, hoho.
 
Saat baca bukux, banyak adegan yg aku sukai, apalagi saat Hamid pulang ke rumah pas mendengar ibunya sakit. Kalau kak Hadi sendiri paling suka adegan yg mana kak? Hehe

Sebenarnya banyak adegan yang saya sukai, hampir semuanya kali ya, hehe. Karena saya menulis cerita ini juga gak sembarangan, saya penuhi dengan kalimat puitis dan quote-quote gitu. Itu saya buat khusus untuk pembaca agar cerita ini sarat akan pesan dan makna. Tetapi, di saat saya menyelesaikan cerita ini, saya sangat tersentuh sama ending-nya. Sampe nangis lho buatnya. Endingnya sedih, tapi serasa manis, soalnya gak berlebihan.

Bocoran dong kak, setelah novel Memori Untuk Ibu, kira2 apa lagi yang bakal kk tulis?
 
  Itu dia! Sekarang lagi tahap penulisan. Masih tentang remaja dan berbau cinta. Suka ya kalo kisah  cinta, pastinya! Tapi masih dalam balutan islami yang insya Allah memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Yey, gak sabar sama buku selanjutnya 😄  Terakhir nih kak, pesan untuk para pembacanya :)

Membaca memang bagus. Bagus sekali. Tapi, lebih bagus lagi kalo kita membaca buku yang bermanfaat untuk diri kita. Untuk ke depannya.

 ***
Yuhhuuu itu dia tadi gaess sesi kepoin penulisnya tadi hihi, oiya kalau mau tahu lebih banyak tentang penulis, yuk berkenalan melalui karyanya. Penulis juga bisa dihibungi melalui sosial medianya loh di twitter @Hadiwinata_ dan Instagram @Kakhadii

Etss jangan beranjak dulu gaess, Yuk intip Profil Penulis



Hadi Winata, lahir pada 10 September 1998. Pria kelahiran Palembang ini gemar menulis puisi, cerpen, essay, dan juga karya tulis ilmiah.

Tahun 2015 terpilih sebagai finalis 30 terbaik lomba inovasi IPTEK yang diadakan di pulau Bintan, Kepulauan Riau, oleh Kementrian Pemuda dan Olah Raga, juga finalis peneliti belia tingkat Provinsi Sumatera Selatan.

Tahun 2016 mengantongi juara 2 Bukit Asam Innovation Award yang diselenggarakan oleh PT. Bukit Asam Persero (perusahaan tambang terbesar di Indonesia) di kota Tanjung Enim, juara 2 lomba essay yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor, juara harapan 1 lomba menulis surat (dari 5.000 surat se-Indonesia) di Bandung, Jawa Barat, yang diselenggarakan oleh PT. Pos Indonesia bersama Komisi Pemberantasaan Korupsi.

Maret 2016, mengikuti pelatihan penelitian di acara Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional di Bengkulu yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Penulis mengawali debut karirnya di bidang kepenulisan dengan menulis novel islami yang berjudul Memori Untuk Ibu. Pernah diminta untuk menjadi juri cipta puisi oleh salah satu penerbit di Jawa Tengah.

Good News
Mau dapat buku "Memori Untuk Ibu" secara gratis? Kabar baiknya penulis ngasih bukunya untuk 4 orang pemenang loh, Yuk ikut giveawaynya di FB Ainhy Edelweiss dan IG: Ainhy_Edelweis. Baca Review buku ini di SINI

Thanks gaess udah nyimak 😄😊

Member of Stiletto Book Club

Komunitas Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Member of Warung Blogger

Warung Blogger

Member of Blogger Perempuan

Member Hijab Blogger

Free "Care" Day

Free "Care" Day