Aku
menunggu dalam keremangan cahaya matahari yang mulai redup. Katakanlah itu
senja. Waktu di mana aku selalu menunggu kedatangan Bapak dari berkebun. Bapak hanyalah
seorang petani yang menggantungkan nasibnya pada hasil pertanian yang kadang
mengalami gagal panen jika musim tidak mau bersahabat. Saat ini umurku sudah
lima belas tahun menginjak usia remaja dan duduk di bangku SMP. Meski di usia
yang sudah remaja, aku masih bersikap
seperti anak kecil yang tidak bisa berpisah dari orangtua terutama Bapak.
Bagiku, Bapak adalah tumpuan harapan sekaligus teladan. Bapak tidak pernah
memarahi apalagi membentakku.
Di
teras rumah, aku selalu menunggu Bapak sembari memandangi langit jingga. Aku tidak
tahu kenapa saat memandangi senja, ada rasa yang membuatku tidak pernah jenuh
menunggu Bapak pulang dari kebun. Namun, senja di sore hari ini membuatku gusar
menunggu kedatangannya yang entah belum muncul hingga langit jingga memudar
berganti dengan awan pekat di langit.
“Nak,
masuk di rumah. Sudah mau adzan, wudhu sana.” Suara ibu membuyarkan lamunanku
dalam tanya tentang kepulangan Bapak.
“Tapi
Bu, Bapak belum pulang.” Suaraku mulai bergetar. Ada rasa cemas menggantung di
sana.
“Sabar
nak, mungkin Bapakmu masih di kebun.”
Aku
memilih diam dan tidak mau mendebat ibu. Kata Bapak, aku tidak boleh melawan
Ibu karena Ibu adalah surgaku. Aku belum paham maksud perkataan Bapak saat itu
dan baru kumengerti di kemudian hari. Sekali lagi kuarahkan pandanganku ke
depan, bukan untuk menatap langit yang warnanya sudah berganti dari jingga ke
hitam pekat, namun melihat jalan setapak depan rumah memastikan kedatangan
Bapak. Sia-sia. Aku membalikkan badan, melangkahkan kaki memasuki rumah.
“Andi..
Andi… Mana Ibumu?” Suara itu terdengar memburu, wajahnya terlihat gusar.
Kupandangi sekali lagi pemilik suara itu, ah dia Pak Iwan tetanggaku. Mengapa
dia berlari ke rumah dengan suara yang bergetar dan raut wajah yang pucat?
“Ada
apa pak? Ibu ada di dalam. Mau shalat.” Aku hanya menjawab seadanya.
“Ini
penting!” Tanpa menunggu respon dariku, Pak Iwan masuk ke rumah membuatku sedikit
kesal, karena masuk tanpa permisi dan terburu-buru. Mataku tertuju pada badik
yang bergantung di pinggang Pak Iwan. Astaga! Badik itu meneteskan darah di
lantai, menyisakan bintik-bintik darah di setiap lantai yang dilewati Pak Iwan.
“Ibu….!”
Aku menyusul Pak Iwan ke dalam rumah. Pikiranku berkecamuk tentang badik dan
apa yang sudah terjadi. Hari itu manakala langit jingga memudar, semuanya telah
berubah. Hidupku benar-benar berubah sejak hari itu.
***
“Bapak,
boleh Andi ikut berkebun?” Pintaku pada Bapak yang hendak bergegas ke kebun
sembari membawa cangkul.
“Nanti
saja nak, hari ini Bapak pulangnya agak terlambat, temani saja Ibumu menjemur
padi.” Raut wajah Bapak selalu seperti biasa, tersenyum ramah. Entah hanya
perasaanku saja, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Pandangan mata Bapak tidak
seperti biasanya.
“Tapi
Pak, Andi pengen ikut…” Meski dilarang, tidak mudah bagiku menyerah meminta
Bapak mengijinkanku pergi, bukannya melawan perintah Bapak, aku hanya tidak mau
menyerah begitu saja. Lagipula kegiatan berkebun memang ditularkan Bapak sejak
aku masih kecil. Hanya saja semenjak duduk di bangku SMP, Bapak lebih sering
melarangku berkebun dan malah menyuruhku fokus belajar.
“Andi,
dengar Bapak baik-baik.” Bapak meletakkan cangkulnya kemudian menghampiriku.
“Bapak
mau melihat Andi sukses, jangan seperti Bapak yang kerjanya hanya bisa bertani di
kebun. Ingat nak, cita-cita Bapak menyekolahkanmu. Kamu harus jadi orang saat
dewasa nanti. Buktikan ke Bapak kalau kamu anak yang baik, sekolah yang rajin
Nak supaya saat kamu kerja, Andi pakai seragam tidak kayak Bapak, pakaiannya
compang-camping.” Gigi geraham bapak terlihat saat menyunggingkan senyumnya
tepat di akhir kalimat. Bagi bapak, apapun profesi seseorang asal dia memakai baju
seragam akan terlihat sangat elit dan berkelas bahkan officer sekalipun. Aku tidak pernah mengerti alasan kenapa Bapak
memiliki pandangan lain tentang baju seragam dan profesi, bagiku petani adalah profesi
nomor satu. Presiden sekalipun tidak akan bisa makan tanpa hasil jerih payah dari
petani. Sejak dulu saat masih SD cita-citaku cuma satu. Aku ingin menjadi
petani. Namun, cita-cita itu belum pernah kuutarakan kepada bapak. Aku tidak
mau melihat gurat kekecewaan di hati bapak.
“Andi
temani Ibu menjemur padi Nak!” Suara Ibu membuat aku dan bapak serempak menoleh
di samping rumah yang memiliki tanah lapang. Tempat di mana Ibu selalu menjemur
hasil panen padi. Bapak bergegas kembali, mengambil cangkul yang diletakkan
lalu tersenyum ke arahku sembari memberi isyarat agar aku membantu Ibu. Aku
hanya bisa diam dan sepertinya tidak bisa merengek ke Bapak lagi untuk ikut
berkebun.
“Nak,
temani sana ibumu. Ingat kau adalah laki-laki kedua di rumah ini setelah Bapak.
Jangan pernah biarkan perempuan berpeluh keringat karena pekerjaan kasar. Bapak
pergi dulu.” Seutas senyum dari Bapak meredam kekecewaanku yang gagal ikut ke kebun.
Diam-diam aku mengagumi Bapakku sendiri, cara dia mendidikku dan bagaimana
Bapak memperlakukan Ibu. Kupadangi matanya lekat-lekat, mata yangs selalu teduh
dan sabar.
“Pak,
kalau pulang Andi minta dibawaain ikan yah Pak, tapi jangan yang mati, Andi mau
pelihara ikan.” Sergaku berpesan dengan riang sebelum bapak pergi.
“Insya
Allah nak.” Mataku menyusuri setiap langkah Bapak meninggalkan rumah. Kini,
hanya punggung Bapak yang tersisa di pandanganku, lalu menghilang di kejauhan.
Entah mengapa, perasaan rindu tiba-tiba menyeruak di hatiku pada Bapak. Segera
kutepis perasaan aneh yang menyelusup tiba-tiba, aku berlari menuju ibu yang
tengah menggelar tikar untuk menjemur padi. Aku bersyukur, sangat bersyukur
kepada Allah yang menganugerahiku dua permata, membesarkanku dalam kasih sayang,
mendidikku dengan cinta. Tidak ada yang mampu membalas kebaikan mereka. Ibu,
Bapak, aku sayang kalian…
***
“Tidaaakkkk….!!!”
Suara tangisan Ibu memecah keheningan. Kabar yang dibawa oleh Pak Iwan seperti
petir yang menyambar-nyambar memekikkan telinga, membuat hati Ibu pecah
berkeping-keping. Kabar itu pula yang membuatku tidak berdaya, hanya berdiri
mematung di dekat pintu melihat Ibu meraung-raung dalam tangis. Sementara Pak
Iwan sibuk menenangkan Ibuku.
“Kenapa
Pak, kenapa seseorang tega melakukan itu kepada suami saya?” Suara itu
bergetar, isak tangis lebih memerihkan hati bagi yang mendengarnya.
“Sabar
Bu, tenang, tenangkan diri dulu.” Badik yang menngantung di pinggang Pak iwan
kini dilepas, membiarkannya tergeletak di atas kursi tamu. Aku hanya bisa diam
lagi dan lagi memandangi badik itu yang bersimbah darah.
“Begini
ceritanya Bu Yati, saya dan pak Amar dalam perjalanan pulang, kami melewati
beberapa kebun. Saat tiba di kebun juragan Rijal, kami mendengar keributan.
Karena penasaran, kami mendekati sumber keributan itu. Dan saat sampai di sana,
kami sudah mengerti apa yang terjadi. Dua orang anak buah juragan Rijal
bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah. Keduanya membawa senjata tajam. Mereka
menggunakan badik Bu Yati, Badik! Tidak ada yang berani mendekat termasuk kami.
Dan tiba-tiba suamimu, Hasan berlari mendekati mereka, Hasan mencoba meleraikan
mereka. Hasan hampir berhasil meleraikan mereka, walau terpaksa melakukan
kekerasan fisik. Namun, salah satu anak buah juragan emosi dan menyerang secara
membabi buta. Dia menusuk Hasan dengan badik. Dan..” Ibuku menghentikan
penjelasan pak Iwan. Ibu tidak sanggup mendengar lagi kejadian yang dialami
Bapak, berita ini sungguh mengguncang jiwa Ibu, bagaimana mungkin Bapak harus
terkena badik saat meleraikan anak buah juragan Rijal?
“Sudah
Pak, saya hanya mau tahu, di mana suami saya sekarang?” Mata ibu sudah bengkak,
Ibu menatap Pak Iwan penuh harap.
“Itulah
kenapa saya datang ke sini Bu Yati. Mari ikut saya, kita ke rumah sakit.” Pak Iwan
bergegas mengantar ibu ke rumah sakit. Sementara badik yang tegeletak di atas
kursi itu tidak ada yang memerdulikannya. Aku beringsut, kutunggu aba-aba dari
ibu.
“Andi,
kamu jaga rumah yah nak.” Ingin sekali aku menolak permintaan ibu. Namun saat
ini, lidahku sangat kelu. Jangankan bertanya kepada Pak Iwan perihal bapak, menjawab
perkataan ibu saja aku tidak bisa. Lidahku benar-benar kelu. Seperti hatiku
yang diguncang kabar kengerian yang dialami Bapak. Perlahan, aku hanya
mengangguk. Secepat kilat Ibu pergi mengikuti Pak Iwan. Bahkan Ibu sendiri lupa
untuk shalat. Ya Allah… cobaan apa ini.
Saat
senja benar-benar pergi dari langit yang selalu kurindukan, berganti dengan
malam yang pekat, aku menutup pintu rumah. Di dalam rumah yang berukuran
sederhana ini, aku menangis sejadi-jadinya.
“Ya
Allah.. kumohon, jangan biarkan Bapak pergi.”
“Maaf
Pak, aku tidak bisa menjaga pesanmu yang satu ini. Agar laki-laki tidak boleh
mengeluarkan air mata, karena air mata seorang laki-laki adalah keringat. Aku
tidak bisa menahan air mataku lagi Pak.”
Dalam isak tangis yang tidak bisa
kutahan, aku meringkuk di atas sajadah. Berharap akan ada keajaiban. Berharap,
saat Ibu pulang bukan berita buruk yang kudengar. Mataku terasa bengkak dan
berat. Samar-samar kudengar suara jangkrik memenuhi keheningan malam. Aku
tertidur dalam isak tangis, dalam doa penuh harap, dalam rasa cemas yang
mendalam.
“Bapak
jangan pergi…”
-------
November 16
pict by google
wow... menegangkan plus haru.
BalasHapusJempol..
Mksh kak :)
HapusJadi pengen pulang ketemu Bapak.
BalasHapusKlimaksnya nggak ketebak.. keren Mbak. Aku pikir bapaknya kecelakaan karena jatuh ato apa lah.. nggak kepikiran sampe kena tusuk.
mksh mba udah mampir :))
Hapustersentuh
BalasHapusmksh kak :)
Hapus