“Tak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan.” Apa yang salah dengan kata-kata itu? Aku dulu pernah membantah kalimat ini. Saat di mana aku dan Aulia menjalin hubungan sebatas –sepupu-sahabat- namun, seiring berjalannya waktu, rasa itu muncul begitu saja, tanpa permisi, tanpa ampun. Membuatku mempertaruhkan hubungan kami, membuat semuanya berubah.
***
Aku
duduk seorang diri di koridor sekolah tepat saat hari Ibu diperingati. Semua
teman-teman berlomba memberikan ucapan, kado, pelukan pada ibu tercinta. Aku
malas membuka akun facebook yang isinya semua menyinggung hari Ibu. Ada rasa
kesal saat mendengar kata itu. Ingin rasanya ku blok semua akun yang turut
merayakan hari Ibu, namun aku urung. Mereka semua teman-teman belajarku.
“Ren,
kamu ngapain di sini?” Seseorang yang wajahnya teramat kukenal datang
menghampiriku. Matanya selalu berbinar-binar. Apalagi senyumnya. Aku tak tahu
mengapa gadis ini selalu tersenyum.
“ng..
nggak ngapa-ngapain. Bete’ aja duduk di kelas.” Aku menjawabnya acuh. Tak mau
menatap bola matanya yang bulat. Dia pandai membaca kegelisahan di mataku.
“Yuk,
kita ke perpustakaan.” Tanpa menunggu aba-aba dariku, dia menarik tanganku
begitu saja.
Dengan reflek, aku hanya bisa mengikutinya. Gadis satu ini sangat
cerewet. Melawan perintahnya sama saja mengibarkan bendera perang.
Kami
tiba di ruang perpustakaan. Ukurannya tak begitu luas. Seperti perpustakaan pada
umumnya, semua buku-buku disusun berdasarkan genre dan urutan abjad. Ditaruh
berjejerah di antara lemari-lemari panjang. Aku tak begitu menyukainya. Sangat
monoton dan membosankan. Lagipula, hampir semua buku yang ada di perpustakaan
ini buku pelajaran, hanya ada satu lemari yang memuat buku-buku fiksi. Ah,
membosankan. Semua buku di sana sudah kubaca.
“Ren
lihat deh buku ini. Cantik kan? Kapan yah kita bisa ke sana?” Aulia menyodorkan
sebuah buku dengan cover bergambar
menara Eiffel.
“Kita?”
Tanyaku dalam hati. “Sejak kapan ada kita?” Aku membatin, bertanya dalam hati.
“Ren,
kok bengong aja sih. Nggak seru deh.” Gadis itu memonyongkan bibirnya. Kedua
matanya menyipit sembari memalingkan wajahnya dariku, pertanda dia marah.
“Oh
Paris yah. Ya sudah. Kapan-kapan aja.” Aku berusaha menenangkan ambekan gadis
ini. Sial, aku tak bisa menenangkannya dengan sedikit rayuan. Aku mengalah.
“Ren,
nanti pas lulus kita daftar yuk ke UGM. Aku ambil sastra Inggris, kamu ambil
jurusan Teknik. Kamu kan ahlinya di bidang itu. Ingat lo, ada kesempatan dapat
beasiswa. Peluangmu lebih besar daripada aku. Jangan sia-siain.” Kukira dia
akan mengambek berjam-jam seperti kebanyakan gadis lain, ternyata belum semenit
gadis ini merubah raut wajahnya. Setiap ucapan dari bibirnya selalu membuatku
terperangah. Aku belum pernah memikirkan masa depanku setelah lulus. Tapi dia?
“Udah
bunyi bell tuh. Yuk masuk kelas.” Dan lagi, gadis itu menarik tanganku
seenaknya saja. Aku seperti kerbau yang digiring oleh sang majikan masuk
kandang.
***
Namanya
Aulia. Gadis cerewet bermata bulat itu belakangan perhatian kepadaku. Dia bukan
hanya teman sekelasku. Dia adalah sepupu dua kaliku. Sejak kematian ibu karena
kecelakaan, dia selalu membantuku dalam hal apapun. Katanya, dia melakukan itu
semua demi menjaga amanah ibuku. Yah, Aulia adalah orang terakhir yang dilihat
ibu sebelum meninggal. Aku mengutuk diriku saat itu. Keasyikan bermain di luar,
lupa membawa handphone, sehingga
kabar tentang kematian Ibuku terlewatkan begitu saja. Bahkan, aku tidak sempat
meminta maaf. Jujur kuakui, hubunganku dengan ibu tidak benar-benar baik sejak
perceraiannya dengan ayah. Kata Ayah, Ibu adalah sebab perceraian mereka karena
selingkuh. Sejak saat itu, hubunganku dengan Ibu sangat renggang. Aku jarang
tinggal di rumah dan lebih menyukai keluyuran di luar bersama teman-teman atau
siapapun itu. Namun, kematian ibu terasa petir yang menyayat hatiku. Bagaimapun
rasa kesalku pada Ibu, tetap saja dia Ibuku. Pengkhianatan ibu kepada ayah
mungkin tidak bisa kumaafkan, tapi kepergian ibu tanpa kehadiranku di sisinya
saat-saat terakhir lebih kusesali.
Kutatap
layar handponeku. Di galeri yang
sedang kubuka. Nampak foto Aulia melingkarkan tangannya di bahuku. Matanya selalu
terlihat berbinar-binar meski di dalam foto. Sudah dua tahun kami tinggal
kos-kosan di Yogakarta sebagai mahasiswa. Ucapan Aulia dua tahun yang lalu
terjadi begitu saja tanpa rintangan berarti. Dia berhasil masuk ke universitas
UGM melalui jalur SBMPTN. Meski tanpa beasiswa, Aulia membagi waktu belajarnya
dengan bekerja separuh waktu.
Mungkin
keberuntungan sedang berpihak di pundakku. Sudah dua tahun ini aku tak perlu
bersusah payah membayar kuliahku. Selain lolos SBMPTN dua tahun lalu, aku juga
lolos mendapat beasiswa. Semua itu berkat gadis ini, Aulia. Tiba-tiba handphoneku berdering. Seseorang
memanggilku, nama yang tidak asing. Aulia.
“Kamu
di mana sih! Di sms nggak di bales. Capek tau nunggu. Cepetan datang nih, mau
hujan.” Tuut. Sambungan terputus. Suara itu memekikkan telinga. Aku lupa akan ada
janji menjemput Aulia sepulang dari kampus.
Kupandangi
foto itu sekali lagi di handphoneku.
Entah mengapa setiap kali memandangi wajahnya, ada desiran aneh di hatiku. Aku
tak tahu ini perasaan apa, dan itu baru kusadari sejak setahun lalu. Setelah
meyakinkan diriku dalam waktu yang cukup lama, aku telah mengambil keputusan.
Sebuah keputusan yang akan mempertaruhkan hubunganku dengan Aulia sebagai
sepupuku.
“Hari
ini. Yah hari ini juga akan kukatakan perasaanku.” Senyum tanda kepuasan
tergambar di wajahku. Namun, rasa cemas juga takut bergemuruh di dadaku. Dengan
langkah penuh harap kujemput Aulia.
***
“Lia,
aku mau ngomong sesuatu.”
“Ya
ampun, udah telat pengen ngomong sesuatu lagi. Tumben kamu. Mau ngomong apa
sih?”
Tak
ada kata-kata romantis untuk gadis pemiliki mata bulat di hadapanku ini. Aku
kesal dengan diriku yang tidak pandai merangkai kata-kata, paling tidak
seharusnya aku bisa mencari tempat yang lebih romantis. Ah sial. Lagi dan lagi
aku tak bisa melakukan itu semua.
“Aku
mau kamu jadi pacar aku. Aku suka kamu Aulia, dan aku nggak mau hubungan kita
hanya sebatas sahabat-sepupu.” Kata-kata itu mengalir lancar tanpa kendala
berarti. Aku mampu menutupi rasa gugup yang sebentar lagi akan meledak.
Satu
menit, dua menit, tiga menit. Tak ada respon.
Aula
menatapku dalam diam membisu. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir
cerewetnya. Pandangan mata yang biasanya berbinar-binar kini meredup. Aku masih
menunggu jawabannya sembari duduk di atas motor. Ah sial! Aku terlalu
terburu-buru. Bahkan lupa mengantar Aulia pulang dulu.
“Ren..”
Deg! Jantungku terpompa tiga kali lipat dari sebelumnya. Aku tak bisa menebak
apa yang akan dia ucapkan.
“Ren,
aku ngg… nggak bisa. Aku nggak bisa menjalin hubungan lebih jauh lagi
denganmu.”
“kenapa?”
Seketika bias kekecewaan menusuk hatiku.
“Kenapa
Lia?” Aku masih bertanya penuh harap.
“Karena
aku sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Nggak mungkin aku mencintaimu.
Nggak akan pernah Ren!”
“Itu
nggak adil Lia.” Suaraku hampir lenyap ditelan kekecewaan. Kupikir hubungan
kami akan mulus, kupikir dia akan menerimaku. Kuanggap semua perlakuannya
selama ini menimbulkan rasa yang sama.
“Maaf
Ren” Hanya itu. Aulia yang biasanya cerewet tiba-tiba menjadi sangat kaku.
Sadarkah dia jika yang paling menderita adalah aku? Apakah dia lupa saat dua
tahun lalu aku hampir menyerahkan hidupku di jalanan?
“Aku
nggak mungkin mengkhianati janjiku. Janji pada diriku sendiri. Bahwa perhatian
dan apapun itu sejak dua tahun hanyalah sebatas perhatian dari sepupu juga
menjaga amanah dari Ibumu. Satu lagi, jika kamu memintaku untuk menjadi pacarmu,
sama saja kau memintaku mengkhianati diriku sendiri!” Tatapan matanya yang
kurang bersahabat telah menusuk perasaan yang sudah kusimpan sejak setahun
terakhir. Dia berbalik dan urung pulang bersamaku.
“Persetan
dengan janji!” Aku mengumpat dalam hati. “Jika setia yang kau maksud adalah
mengikuti janji pada dirimu dua tahun lalu, kau salah besar Aulia!
“Kau
lupa, kalau kau sendiri mengkhianati perasaanmu.” Kunyalakan gas motor
sekencang-kencangnya tanpa peduli keadaan sekitar. Tak peduli ke mana Aulia dan
dengan siapa dia akan pulang. Penolakan itu benar-benar membuatku merasa
dikhianati.
_________
Picture taken by google
karya: Ainhy Edelweiss
0 komentar:
Posting Komentar