***
Hari
pertama menyandang status anak SMA terasa biasa-biasa saja. Aku berjalan menuju
sekolah yang tak jauh dari rumah nenekku. Keceriaan itu sudah lama hilang dari
diriku. Langkahku tertatih. Sejak kepergian Ayah merantau di Malaysia, aku
benar-benar kehilangan sosok yang bisa menjadi teladanku.
“Nak,
kamu jangan sedih. Ayah pergi bukan karena pertengkaran Ayah dengan paman,
bukan Nak. Ayah murni pergi untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Lihat,
sebentar lagi kamu akan lulus di SMP. Akan butuh biaya yang banyak Nak. Ayah
tak ingin, kamu jadi pengangguran dan mengikuti jejak Ayah.” Ayah menatapku
lekat. Senja di sore itu terasa kelam. Ayah berusaha membujukku.
Aku
berjalan pelan menuju sekolah yang tak terlalu jauh dari rumah. Anehnya,
ingatan saat perginya ayah ke tanah rantau tak bisa kulupakan.
“Tapi Ayah, mengapa harus pergi? Siapa yang akan mengajari aku? Membacakan surah
Yasin saat malam jum’at sebelum tidur? Ayah kan tahu, aku nggak bisa berbuat
apa-apa tanpa Ayah di sini.” Tanpa kusadari, air mataku mengalir. Aku memang
laki-laki, tapi untuk hal ini, aku nggak bisa menahan isak tangisku di hadapannya.
“Nak,
ingat, kau itu laki-laki. Jangan pernah biarkan air matamu menetes. Ingat, kita
ini laki-laki. Seberat apa pun itu, air mata laki-laki adalah keringat. Kamu
sudah besar nak. Jangan khawatir, kamu bisa tinggal di rumah nenek.” Ayah
mengelus ubun-ubunku dengan lembut. Sorot matanya tajam. Guratan di wajahnya
menandakan usianya yang semakin tua. Beberapa helai rambutnya sudah memutih.
Kepergian ibu sejak tiga tahun lalu menyisakan kepedihan tersendiri bagi kami
berdua.
“Tapi
yah, aku…” Belum sempat aku melanjutkan omonganku, ayah memelukku erat-erat.
“Nak,
sudah. Jangan berdebat dengan Ayah. Besok Ayah harus pergi. Ingat, belajar yang
baik dan rajin. Ayah ingin melihat kamu sukses. Biar pamanmu tidak mencela
keluarga kita lagi. Biar kamu bisa membungkam mulut mereka dengan prestasimu.”
Ayah melepaskan pelukannya. Ada rasa hangat menjalar di tubuhku. Aku pasti akan
merindukan ayah. Sangat.
Tak
kusangka ingatan itu mengundang bulir-bulir di tepi mataku.
“Ah
sial!” Gerutuku dalam hati. Sudah hampir setahun. Masih saja aku mengingat
saat-saat sebelum kepergian ayah di tanah rantau.
Tanpa
kusadari aku sampai di sekolah. Memasuki ruangan kelasku. Sebelum melangkah
masuk kelas, seseorang memegang pundakku dari belakang. Aku menoleh.
“Eh..
Pak.. Pak Nuur.” Aku salah tingkah saat meyadari siapa yang memegang pundakku.
Beliau adalah guru favoritku di sekolah. Namanya pak Nuur Syam. Belakangan ini, aku
akrab dengan beliau.
“Arul,
kamu terlambat lagi masuk kelas. Untung bapak meeting tadi di ruang guru. Kamu
selamat.” Pak Nuur tersenyum di hadapanku, aku tahu dia tipe guru yang humoris
dan terkadang mengerjai siswanya yang terlambat, tapi justru itulah yang aku suka. Suasana di kelas
tidak pernah tegang. Cara mengajarnya sangat efektif, kami nggak pernah merasa
bosan saat beliau mengajar. Tapi, di saat yang sama beliau juga bisa tegas.
Seperti itulah beliau mendidik kami. Nggak hanya sekedar mengajar.
Aku
duduk di bangku paling depan. Alasannya simple,
biar mudah mengerti penjelasan guru-guru, tentu saja ada resikonya. Kebanyakan
yang duduk di depan selalu menjadi yang pertama jika ditunjuki mengerjakan atau
menjawab pertanyaan setiap guru yang mengajar di kelas. Tapi, sejak mengenal
pak Nuur, aku malah ketagihan duduk di depan setiap memasuki ruang kelas.
Kuperbaiki
posisi dudukku sembari meraih pulpen dan buku di dalam tas. Pelajaran sudah
dimulai. Pak Nuur seperti biasa mengawali pelajarannya dengan kisah
inspiratif. Aku termangu setiap kali pak Nuur mengajar di dalam kelas. Senyum
dan wajahnya sangat mirip dengan Ayahku. Ingatanku kembali merambah saat pertama memasuki
sekolah ini.
***
Hari
pertama menjadi murid SMA biasa-biasa saja. Tiga bulan semenjak perpisahan
dengan ayah menyisakan rongga rindu yang sangat mendalam. Aku menyalahkahkan
pamanku sejak perginya Ayah di tanah rantau. Bagiku, Ayah pergi karena ulahnya.
Aku masih ingat bagaimana paman menghina Ayah di depan rumah kami sendiri. Ayah
yang tubuhnya sudah ringkih, tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah terlalu sabar
bagiku. Dan karena itu pula, ayah memilih pergi jauh dari kampungnya. Jauh dariku.
Malangnya, aku nggak bisa setegar yang Ayah kira. Aku bergabung dengan komplotan anak
nakal di sekolah. Beberapa dari mereka adalah teman SMPku. Aku melampiaskan
semua kekesalanku dengan brutal. Meski berstatus anak baru di SMA, namun kelakuanku
sudah seperti senior. Aku lebih banyak membolos di sekolah. Dan sampai pada
insiden itu yang mempertemukanku dengan pak Nuur.
Hari
itu, aku meloncat keluar dari pagar sekolah. Teman sekolahku membawaku ke
tempat markas di mana kami sering berkumpul. Lokasinya tak jauh dari sekolah,
namun dekat dari pasar. Aku lupa bahwa hari itu akan ada razia khusus anak
sekolahan yang bolos di sekolah. Tanpa kusadari, gerombolan polisi menjelajahi
setiap sudut di dekat sekolah kami. Teman-teman yang menyadari itu lari
terbirit-birit, sementara aku yang kebetulan masuk di dalam wc, tidak
menyadarinya.
Salah
seorang polisi menangkapku saat kembali duduk di warung yang kami jadikan
markas berkumpul. Aku tertangkap basah dan nggak bisa mengelak karena seragam
SMA yang kupakai. Aku digiring ke sekolahku. Aku tidak bisa berkata banyak.
Anak-anak SMA berhamburan di luar melihatku. Aku hanya bisa menunduk tanpa
melakukan perlawanan. Kepala sekolah menegurku keras. Aku memang tak berurusan
dengan polisi. Mereka hanya melakukan razia bagi siswa yang bolos. Sisanya,
sekolah yang akan bertanggung jawab.
Di
ruangan BK, aku ditanyai banyak hal. Guru BK di sekolahku sangat galak. Aku
dibentak habis-habisan. Tak tersisa lagi ruang bagiku untuk membela. Ingin
rasanya kukatakan bahwa aku hanya frustasi karena masalah yang kuhadapi. Namun,
aku urung. Apa pedulinya mereka dengan diriku. Dan saat dibentak itu, seseorang
masuk dalam ruangan. Guru yang tadi membentakku tiba-tiba diam.
Seseorang
yang masuk tadi duduk menghamipiriku. Dia menatapku lekat-lekat. Kupikir, dia
juga akan memarahiku. Dia hanya tersenyum dan menoleh ke arah guru BK itu
seolah membicarakan sesuatu. Aku merasa lega, karena guru BK yang dari tadi
membentakku akhirnya keluar juga.
“Nak,
nama kamu Arul kan? Kamu ke rumah bapak yah setelah pulang sekolah.” Dia
tersenyum simpul di hadapanku. Aku menatapnya bingung, aku belum pernah melihat
orang ini sebelumnya. Tapi, aku yakin dari seragamnya, dia juga mengajar di sekolah
ini. Tapi mengapa dia mengajakku ke rumahnya?
“Rumah
bapak dimana?” Dengan ragu-ragu, aku bertanya letak rumahnya.
“Di
perumahan sekolah nak, ya sudah kamu masuk kelas. Ingat, sepulang sekolah kamu
ke rumah bapak.”
Hanya
itu. Dia meninggalkan ruang BK. Aku kembali ke ruang kelas yang sebenarnya
masih bingung dan bertanya-tanya tentang orang itu. Banyak pasang mata
menatapku dengan sinis. Aku merasa bersalah. Gara-gara ulahku, aku memberikan
citra tidak baik terhadap sekolah ini.
Sepulang
sekolah, aku menghampiri rumahnya. Aku masih bingung, siapa namanya. Aku yakin
dia juga guru di sekolahku. Aku disambut hangat oleh dia. Aku terperangah saat
pertama kali masuk di dalam rumahnya. Ruang tamu dipenuhi oleh jejeran buku
yang rapi di dinding rumah dan memenuhi satu lemari besar.
“Panggil
saya pak Nuur, nak. Saya guru kelas tiga. Wajar saja kalau kamu belum kenal
bapak.”
Aku
tediam sejenak. Aku baru menyadari sesuatu yang tidak asing sejak melihat dia,
maksudku pak Nuur di ruang BK tadi. Wajah dan senyumnya mirip Ayahku hanya
saja, beliau terlihat lebih muda dari Ayah. Dan ya Tuhan! Sorot matanya itu
mengingatkanku pada Ayah. Aku membatin dalam hati ketika beliau memandangku.
***
“Arul!
Arul! kamu menghayal?” Suara teman sebangkuku, menyadarkanku dari lamunan. Aku
hanya tersenyum ke arah temanku. Sekali lagi, kulihat pak Nuur lamat-lamat.
Sejak hari itu, aku lebih sering ke rumah beliau. Guru yang tidak pernah
kukenal sebelumnya kini sangat akrab denganku. Bukan hanya aku, di rumah beliau
ada banyak puluhan siswa lainnya yang sering ke rumah beliau untuk membaca
buku. Tapi, bagiku pak Nuur lebih dari seorang guru, dia Ayah kedua bagiku.
Karena
nasehatnya, aku berhenti bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahku. Akupun berhenti
bolos sekolah. Perlahan tapi pasti, aku merasa termotivasi kembali. Bahkan aku
bermimpi! Beliau membuatku bercita-cita, membangun mimpi. Kata pak Nuur,
jangan pernah merasa berkecil hati saat kau merasa kekurangan ekonomi. Jadikan
itu sebagai bahan bakarmu untuk melangkah ke depan. Kata-kata beliau mungkin
hanyalah nasehat ringan, tapi tidak bagiku. Itu sangat berarti.
Aku
sering ke rumah beliau untuk membaca buku bahkan sampai menginap. Beliau
memperlakukanku layaknya anak sendiri. Di sisi lain, beliau juga sangat tegas.
Hal yang paling kusukai dari beliau karena sisi humorisnya dan sangat mengerti
psikologi muridnya. Terutama aku.
“Nak
Arul, tolong ambil buku absensi bapak di perumahan, Bapak lupa membawanya.”
Tanpa
banyak bicara, aku meninggalkan kelas. Menuju perumahan beliau yang kini sudah
menjadi rumah keduaku. Tidak heran jika pak Nuur memberiku amanah untuk
mengambil sesuatu yang beliau lupa di perumahan. Aku berjalan cepat menuju
rumahnya sambil tersenyum. Sejenak, aku memandangi langit yang indah membiru.
Aku tetap dan akan selalu merindukanmu Ayah. Dan ya Tuhan, terima kasih karena
Engkau mempertemukanku dengan guru yang sangat baik. Guru yang juga seperti
ayahku sendiri.
________
picture taken by google
karya: Ainhy Edelweiss
________
picture taken by google
karya: Ainhy Edelweiss
Tidak bisa berkomentar apa-apa. Intinya keren... Hehehe
BalasHapushehehe mksh dik
Hapus