Dia kembali lagi ke dunianya. Berkutat dengan kegiatan yang biasa dia lakukan dua setengah tahun belakangan ini. Tak ada lagi puisi di sore hari menjelang senja seperti yang dia lakukan sebulan terakhir. Dia beranjak malas meninggalkan kamarnya menuju kamar mandi. Tak bisa menunda untuk tidak mandi. Jika tidak, dia tak akan merasa percaya diri ke kampus.
Sebulan terakhir dia gunakan untuk berlibur. Sebenarnya, kata ini tidak tepat dia gunanakan. Tak ada hari libur baginya meskipun sebenarnya dia sedang libur. Dia memiliki definisi tersendiri tentang berlibur. Berlibur baginya dimana kau bisa menghabiskan waktumu di suatu tempat yang kau idam-idamkan bersama orang-orang yang kau cintai. Dan dia menolak arti definisi berlibur jika orang lain mengatakan hari ini hari minggu, kau bisa berleha-leha di rumahmu, atau bulan depan kau tidak akan masuk kantor sebab aksi demo mengacau keadaan lalu lintas hingga memiliki kesempatan untuk tidak masuk kerja, atau dia juga menolak jika berlibur didefinisikan bahwa kau bisa tidak ke kampus saat liburan semester selama sebulan sementara hanya berdiam diri di rumah.
Dan yah, semua definisi itu tidak masuk dalam pemahamannya. Dia tak merasa sedang berlibur. Well, mungkin karena situasinya yang hanya berdiam diri di rumah.
Namanya Biru. Hari ini dia menamai dirinya Biru. Dia memperkenalkan diri begitu saja tanpa basa-basi di depan cermin. Alasannya simpel, karena dia memakai pakaian serba biru. Setelah sebulan lamanya, dia baru masuk kampus hari ini. Perkuliahan sudah dimulai sejak minggu lalu, namun dia uringan ke kampus seminggu yang lalu, katanya karena masih perdana. Cuma ada dua kemungkinan. Dosen masuk tapi hanya memperkenalkan diri, tak ada absen-absenan, kedua, kemungkinan besar dosen nggak masuk di kelas. Jadi, dia memilih untuk tidak pergi saat kuliah perdana dimulai.
Dia melangkah mantap menuju kampus. Yang sebetulnya tak jauh dari tempat dimana dia tinggal. Well, sebaiknya aku berhenti menyebut dia dengan dia.
Biru tidak membawa tas ke kampus. Ia hanya menenteng satu binder dan satu pulpen, tak ketinggalan smartphonenya yang tak bisa jauh-jauh dari genggamannya. Sebelum pergi, Biru melihat jadwal kuliahnya. Ia sebenarnya agak asing dengan ruangan itu, selama dua setengah tahun terakhir, Biru belum pernah belajar di ruangan itu.
Pukul 15.30 pm adalah waktu dimana Biru akan memulai pelajaran di kelasnya, sayang dia terlambat 15 menit. Meskipun tahu dia terlambat masuk, Biru hanya berjalan santai menuju lantai dua di ruangan tersebut. Tak disangka saat Biru sampai di bibir pintu ruang kelas, ia melihat seorang dosen sedang memberikan perkuliahan di kelas itu. Ia ragu-ragu untuk masuk kelas. Dalam hati Biru mengutuk dirinya yang datang terlambat.
Sebelum pintu diketuk, dosen itu melihat ke arah Biru dan tersenyum. Ada perasaan lega di hati Biru. Ternyata dosennya baik dan dengan ramah menyuruh dia masuk. Hanya satu yang Biru cemaskan, dosen itu sudah mengajarnya satu tahun yang lalu. Kesan disiplin dari dosen itu masih membekas di hati Biru. Biru hapal betul aturan dosennya itu di kelas. Pertama, tolerir waktu terlambat hanya 15 menit, jika telat, tak ada harapan untuk mengikuti kelasnya. Kedua, standar berpakaian harus berkerah. Apa hubungannya belajar dengan pakaian berkerah? itu gumaman Biru saat pertama kali diajar dosen itu. Belum tuntas komplain Biru, dosen itu sudah menjelaskan argumen-argumen tentang aturannya.
Ada satu hal yang Biru suka dari dosen itu, dia memberi kesempatan kepada mahasiswa lain untuk mengikuti perkuliahannya di kelas lain jika dua aturannya tadi tidak dipenuhi. Eh bukan cuma satu ternyata, Biru belakangan ini mengagumi dosennya itu. Dia berbeda dengan dosen lain. Bagi Biru dia tidak sekedar mengajar di kelas, menyampaikan teori-teori kemudian memberikan tugas begitu saja. Dosennya ini sangat uptodate tentang materi perkuliahan yang dibawanya. Tak heran jika beberapa kali Biru merasa sangat bodoh jika sudah berhadapan dengan dosennya ini. Biru merasa dia mahasiswa yang nggak ada apa-apanya jika dosennya ini sudah menjelaskan dengan caranya yang unik.
Menjelang akhir mengikuti proses perkuliahan di tahun ini, Biru sudah memilih konsentrasi apa yang akan dia ambil. Pernah Biru ditanyai oleh temannya tentang bidang apa yang dia ambil untuk penyusunan skripsi, Biru menjawab seadanya. Mendengar jawaban Biru, temannya hanya tertawa meledek. "pilihan kamu itu konsentrasi sejuta umat!". Namun, Biru tak menggubris perkataan temannya. Toh dia memilihnya sendiri tanpa paksaan dari siapapun.
Saat di kelas, dosen menjelaskan tentang konsentrasi yang diambil Biru dan mahasiswa lain. Di luar dugaan, dosennya ini memaparkan bahwa konsentrasi yang Biru ambil tidaklah mudah. Paradigma orang lainlah yang beranggapan bahwa konsentrasi ini mudah. Kamu tau kan konsentrasinya MSDM. Dibandingkan keuangan, ada dua perbedaan mencolok, yaitu data dan uji.Bagi MSDM, untuk mengambil sebuah data dia menggunakan data primer, artinya, data yang diambil harus berdasarkan kuisioner dan terjun langsung di lapangan. Kedua, teknik pengujian data pun melalui dua tahap, valid dan redibel.
Biru hanya sesekali mengangguk-angguk mendengarkan dosennya menjelaskan sambil tersenyum tipis. Dia masih mengingat perkataan temannya tempo hari. Ingin rasanya Biru memanggil temannya ikut di kelas, lalu temannya itu tahu tentang konsentrasi yang dia ambil tak semudah yang dia pikirkan. Biru menghela nafas sesaat. Mungkin cara terbaik berbalas dendam adalah membungkam mulut temannya dengan prestasi.
Tak terasa jam perkuliahaan berakhir. Sang dosen mengambil absen lalu menyebut nama mahasiswanya satu persatu. Nama Biru ada di urutan ke-28. Namun, saat dosennya menyebut nama di urutan ke-15, mahasiswa yang disebut tak ada yang angkat tangan. Tiga kali dosennya menyebut nama itu, semuanya terasa hening. Tak ada yang mengakui nama itu di kelas. Biru sudah menebak, jika dosennya mungkin akan marah atau paling tidak kecewa.
Untuk beberapa saat dosennya diam sejenak. Menaruh kembali absen di mejanya. Kemudian berjalan di tengah-tengah mahasiswa. Dia membuka pembicaraannya dengan bertanya.
"Apa kalian tahu apa yang menciptakan harga?"
semuanya diam bahkan Biru merasa blank.
"Harga tercipta karena adanya permintaan dan penawaran. Jika permintaan naik maka harga akan meningkat, namun jika penawaran menurun maka, harga akan meturun."
"kalian tau berapa harga seekor sapi? kemarin kan masih suasana hari raya qurban. Apa harga daging mahal atau murah?"
Masih hening. Namun,beberapa mahasiswa menjawab jika harga daging sapi mahal sangat mahal malah.
"kalian tau jika pemerintah mengimpor daging dari luar negeri mencapai ribuan ton? itu artinya, persediaan daging akan memenuhi permintaan masyarakat, jumlah daging banyak, permintaan meningkat, persediaan stabil dan bisa dipenuhi. Artinya, harga daging sapi harusnya murah. Lalu kenapa harganya tetap mahal? kemana teori permintaan dan penawaran yang menciptakan harga? apa yang salah dengan itu?"
Masih hening. Biru sedang menimbang-nimbang pernyataan dosennya yang dinilainya benar. Dan itu fakta. Semua diam. Tak ada satupun yang menjawab pertanyaan sang dosen.
"Bukan permintaan dan penawaran yang menciptakan harga yang salah. Tapi.... seharusnya, daging sapi sudah bisa dijangkau. Yang menyebabkan harga tetap melonjak drastis adalah adanya campur tangan tak terlihat, invisible hand"
Semua diam. Suasana kelas masih hening. Biru mencoba meraba-raba apa maksud perkataan dosennya.
"Sama seperti di absen ini, ada tangan-tangan tak terlihat yang mencoba mengisi nama temannya di absen sementara dia tak hadir!"
***
Perkuliahan hari itu ditutup dengan pemberian tugas pertama oleh sang dosen kepada Biru dan mahasiswa lain. Hari itu menjelang senja, Biru masih memikirkan perkataan dosennya yang sebenarnya menyinggung pelaku invisible hand di kelas.
Jantung Biru bergetar. Dia bergegas pulang.
(14 sept_16)
note: picture taken by google
0 komentar:
Posting Komentar