Gerimis hujan malam ini tak sedikitpun menghentikan langkahku menuju suatu tempat. Kepergiannya menyulut kesedihan yang mendalam di hatiku. .
***
"Mawar, bisa kan kamu keluar malam ini bareng kita? Sekali-kali karaokean dong, jangan di rumah terus. Baca buku terus. Kamu nggak bosan emang? Ayolah... teman-teman nunggu tuh di luar."
Calissa menungguku dengan harap. Ajakannya memang sedikit menggiurkan. Apalagi dia yang traktir semua anak-anak di kos. Aku dan ke empat teman-temanku yang lain. Aku tak bermaksud membuatnya kecewa, aku hanya tidak dalam suasana hati yang baik.
"Maaf Lis, aku nggak bisa ikut kalian..."
Belum selesai mengutarakan alasanku, Calissa pergi tanpa kata. Sepertinya dia sudah hafal betul sifatku yang satu ini. Keras kepala. Mau bagaimanapun cara dia mengajak, jika aku sudah menolak maka tak ada cara untuk membujukku.
"Maafkan aku Lis, kali ini masalah yang kuhadapi berat. Aku nggak mungkin pergi bersenang-senang sementara hatiku menangis." Gumamku dalam hati.
***
Kamu boleh menolak ajakanku mawar, tapi tidak dengan melihatmu memendam sendiri masalahmu. Kau harus cerita padaku. Nggak boleh tidak. Tunggu sampai aku pulang. oky
Dua puluh menit kemudian pesan singkat dari Calissa masuk di message whatsupku. Aku hanya menghela nafas beberapa saat. Kali ini aku memilih menghibur diriku dengan berdiam diri di teras rumah kontrakan. Aku sangat menyukai tempat ini jika tak ada siapa-siapa. Semuanya hening.
Pukul 22.42
Sambil mendengar musik, ingatanku melayang tujuh tahun lalu. Awan hitam dan pekat menciptakan gerimis hujan yang perlahan-lahan menderas. Aku tak bisa melihat bintang-bintang malam ini. Sekali saja, aku ingin memandangi bintang-bintang saat aku sedih. Malam ini terasa panjang bagiku. Aku berharap waktu akan berhenti, berharap hari esok akan tiba seratus hari lagi. Tuhan, jika kau ijinkan aku ingin kembali ke masa lalu. Masa lalu yang kubenci namun kurindukan. Sebentar lagi jam 12.00 ada takut, kecewa, sedih, dan bahagia.
Aku bahagia karena Dia masih memberiku kesempatan untuk menghirup nafas lega meskipun terasa sesak sejak tujuh tahun lalu. Aku kecewa, sedih dan takut karena belum menerima kenyataan bahwa aku benar-benar kehilangan. Dan, ingatan itu kembali mengenang setiap serpihan masa lalu.
***
Menjelang ujian nasional tingkat SMP, aku terpaksa berhenti mengikuti les pelajaran tambahan. Tatapan mata para tetangga di kampung membuatku terintimidasi. Belum lagi gunjingan yang bertebaran sana sini. Nama ayahku seketika populer di kampungku. Ibarat seorang artis yang baru saja naik daun karena popularitas namun, seketika jatuh akibat fitnah yang tersebar begitu saja.
Aku yang masih remaja lima belas tahun, tentu mengerti persoalan ayahku. Bahkan setelah tahu, aku tetap membela ayahku. Dia ayah yang baik, ayah yang bertanggung jawab pada keluarganya, dia bahkan rela bekerja hingga petang hari demi keluarganya. Belakangan ini, ayah sering di panggil oleh warga di kampungku. Bermula dari mengimami shalat di masjid, lalu mengisi ceramah di hari jumat, ayah yang memang mempelajari ilmu agama dan selalu menghafal alquran tentu saja diberi kepercayaan oleh warga di kampung untuk mejadi imam mesjid. Sejak saat itu, banyak warga yang datang silih berganti ke rumah. Entah itu diminta untuk menjadi guru mengaji, menghadiri syukuran, memotong hewan qurban, bahkan menjadi penghulu. Seperti itulah di kampungku. Karena banyak pemuda meninggalkan kampung halaman setelah beranjak dewasa, akibatnya tak ada yang bisa dijadikan pengganti imam masjid jika tidak hadir secara tiba-tiba.
Karena berpindahnya imam masjid yang lama ke kota, maka ayah diamanahkan untuk mengganti posisinya. Jabatan itu di kampungku, sangat prestise. Entah bagaimana cara pandang warga di kampungku, seperti itulah aku memahaminya saat itu.
Bagaimana mungkin ayahku dituduh melecehkan seorang wanita?!
Kabar yang kudengar dari gunjingan para tetangga ibarat petir yang menyambar-nyambar. Aku tentu saja dilanda berbagai pertanyaaan. Namun, aku tahu, orang yang paling khwatir lebih dari aku adalah ibuku. Aku tak melihat guratan kekecewaan di mata ibuku saat melihat ayah. Ibu malah mendekap ayahku. Aku tak menyangka ibu setegar itu. Apakah sebesar itu rasa kepercayaan ibu?
Karena rasa penasaranku yang hebat, aku berhenti mengikuti les. Ayah dan ibu sibuk berbicara dengan pengacara. Aku mendengar mereka berbincang di ruang tamu. Dan yang membuatku terheran adalah kejadian itu sudah dua bulan yang lalu.
Jika dia merasa dilecehkan dua bulan yang lalu, kenapa pula baru melapor? itupun menyebarkan fitnah di seluruh kampung. Aku mendengar seksama ayah menjelaskan detail peristiwa itu.
Ayah sama sekali tidak punya kedekatan dengan wanita itu. Justru dia hanya kenal dengan ibu. Memang dua bulan terakhir dia sempat datang ke rumah dengan beberapa alasan. Namun, tak pernah sama sekali berkomunikasi dengan ayahku. Terakhir dia datang di rumah malam itu. Dia membawa beberapa makanan sebagai ungkapan terima kasihnya karena aku sudah membantu anaknya di sekolah tempo hari lalu. Saat itu sudah jam delapan malam, ibu khawatir dengan teman wanitanya itu jika pulang sendirian. Akhirnya ibu menyuruh ayah mengantar wanita itu.
Dan kau tahu? wanita itu mengambil dalih dengan beralasan bahwa malam itu ayah melakukan pelecehan padanya. Aku sangat geram melihat kabar itu. Jelas-jelas itu fitnah. Karena pada saat itu, aku tak sengaja mengikuti ayah dari belakang. Entah kenapa, naluriku mengatakan aku harus mengikuti ayah. Aku tak bisa tenang setelah tak sengaja menangkap tatapan matanya yang aneh pada ibu saat dia pergi.
Rumahnya tak jauh dari rumah, hanya sekitar 500 kilometer. Di kampungku akan terasa sangat sunyi jika malam tiba, saat itu rumah warga di kampung belum banyak.
Pengacara itu mendengar ayahku bercerita. Namun, ada satu hal yang ayah lupa. Ia tidak menyadari bahwa aku telah mengikutinya dari belakang. Cerita ayahku memang persis kejadian malam itu, dia tidak melakukan apa-apa. Malah, ayah berjalan tiga meter di belakang wanita itu. Itupun tanpa berbicara pada wanita itu. Meski agak samar karena beberapa kali harus bersembunyi di balik semak, wanita itu berhenti beberapa kali dan ingin berjalan beriringan dengan ayah. Tapi ayah menolaknya. Ayah hanya memberi isyarat agar dia terus berjalan.
"Masalahnya adalah bapak sama sekali tidak punya saksi. Kedua, persoalan ini jelas-jelas terasa ganjil, wanita itu melapor tanpa bukti ke polisi, itupun kejadiannya dua bulan yang lalu. Menurut kami, laporan seperti itu dianggap tidak relevan. Tapi, persoalan ini, meskipun bapak tidak dinyatakan bersalah, akan sangat sulit membersihkan nama baik bapak."
Aku menghela nafas. Rasanya lega mendengar ayah akan lolos terdakwa dalam kasus itu, akan tetapi soal nama baik ayah akan sangat susah dibersihkan. Meskipun ayah benar, reputasinya sudah hancur karena fitnah sialan itu. Aku berani bertaruh wanita itu hanya ingin merusak nama ayahku.
Sebulan lamanya ayah mengikuti proses persidangan. Sebulan lagi aku akan mengikuti ujian nasional. Ayah tidak berbukti bersalah di persidangan terakhir. Kami semua senang dan brsyukur saat itu. Aku masih ingat ekspresi wanita itu di dalam ruang sidang. Matanya seolah menyulut api amarah. Jika ayah mau, ayah bisa saja menuntut balik atas pencemaran nama baiknya kepada jaksa, tapi ayah tidak. Aku protes dalam hati. Wanita itu pantas mendapat denda atas pencemaran nama baik, kalau perlu dipenjara sekalian. Tapi ayah tidak. Ia hanya tersenyum lembut mendengar keputusan hakim dan mengajak kami semua puang. Saat kutanya ayah di perjalanan pulang, ayah hanya mengelus ubun-ubunku.
"Nak, jangan pernah isi hatimu dengan kejelekan-kejelekan, apalagi jika itu dendam. Ia ibarat batu dan pasir, semakin kau isi, semakin ia akan penuh. Jika toples penuh oleh pasir dan batu, apakah ada benda lain yang bisa mengisi toples yang penuh?"
aku hanya menggeleng tak mengerti.
"Toples yang penuh itu sama dengan hati yang dipenuhi kejelekan. Jika hatimu dipenuhi kejelekan, bagaimana mungkin kebaikan bisa mengisinya?"
"Tapi ayah... se..seharusnya... " aku manyun tak menerima perkataan ayah, yang baru kupahami beberapa tahun kemudian.
***
Setelah kasus yang menimpa ayahku, semuanya kembali berjalan normal. Aku mengira reputasi ayah akan hancur di mata warga. Namun, ayah bukannya dikucilkan karena fitnah itu di kampung, justru ayah semakin dihargai oleh warga kampung setelah terbukti ayah memang tidak bersalah. Lagipula, kebanyakan warga memang masih percaya dengan ayahku saat fitnah itu menyebar.
Aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Tak kusangka meski bolos mengikuti les, aku tetap bisa mengejar ketertinggalanku. Kupandangi ijasahku tiga bulan kemudian setelah acara penamatan. Kulihat foto ayah dan ibu merangkulku.
Hari itu, tepat 7 juli sehari setelah perayaan ulangtahunku ayah pergi untuk selama-lamanya.
Gerimis hujan malam ini tak sedikitpun menghentikan langkahku menuju
suatu tempat. Kepergiannya menyulut kesedihan yag mendalam di hatiku.
Kegembiraan yang kudapat tepat dihari ulangtahunku seketika lenyap. Berganti dengan kesedihan yang teramat sangat. Ayah... selamat tinggal...
***
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku sadar dari lamunanku, merambah pada sepotong kenangan tujuh tahun lalu. Kuraih ponselku yang terletak di atas kursi di sebelahku. Tepat pukul 12.01 seseorang mengirimiku pesan.
"Happy birthday Mawar, It's 22 in your age, stop to hide and keep your sadnees. You never have time to move if you can't take a peace with your memory in your past. Remember about a jar? Fill it with kindness. :) From someone who's always stand by your side. Jhon."
Aku hanya tersenyum membuka pesan itu. Dia benar. Aku telah mengisi tujuh tahun terakhir hidupku dengan duka yang teramat dalam. Saatnya membuang jauh-jauh isi toples itu. Menggantinya dengan sesuatu yang baru.
"Thanks chubby. It's 22 for Mawar.:)"
(16 Sept_2016)
0 komentar:
Posting Komentar