Penulis : Hamzir Usman
Cetakan 1, Maret 2016
Penerbit : Garis Khatulistiwa
ISBN : 978 602 74328 0 2
Tebal : ix-125
#31HariBerbagiBacaan
"Resopa temangingi nalEtEi pammasE DEwata (hanya dengan bekerja keras dan keikhlasan yang akan menjadi lantaran turunnya rahmat dari Tuhan )" hal. iii
Sinopsis :
Berlatar di wilayah Bantaeng, sebuah kota kecil nan elok di Sulawesi Selatan. Kisah ini kental dengan budaya Bugis-Makassar. Adalah seorang pemuda bernama Malik. Sosok pemuda nan sederhana yang telah lama akrab dengan kemiskinan. Tak banyak yang dapat diceritakan sesungguhnya. Kisah cinta monyet dengan Tenri, teman sekolahnya menjadi pembuka. Tapi malang tak dapat ditolak, ayahanda sang gadis merasa terhina. Sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya, ia tidak menyetujui hubungan asmara yang sudah terjalin. Jalinan cinta kandas di tengah jalan.
Tak berhenti sampai disitu, meninggalnya sang ibunda menambah beban beratnya. Tak ada lagi tambatan hati. Merantau adalah pilihan utama, meninggalkan kampung halaman yang dianggap tak lagi mampu memberi harapan. Pertemuannya dengan puan Maman, seorang saudagar kapal kaya raya sedikit demi sedikit mengubah hidupnya. Ketabahannya menghadapi hidup memberikan penilaian khusus di hati sang saudagar.
Intrik berlanjut ketika benih asmara kembali bersemai kala ia berjumpa dengan Sani, cucu kesayangan sang saudagar. Meski tak terkata, bahasa cinta tersalur lewat pandangan. Pertemuan yang intens antara dua insan mengobarkan bahasa cinta.
***
Novel ini menceritakan kisah seorang pemuda berusia 18 tahun. Namanya Malik, anak sematang wayang pasangan bapak Solihin dan Rafiah Ibunya, hidup dalam keterbatasan. Apalagi sejak meninggalnya ayah Malik, Malik harus bekerja setiap hari di ladang saudagar kaya bernama Pak Sainuddin. Karena ibunya sakit-sakitan, sehingga Malik harus kerja ekstra. Meskipun upah yang di dapat tak sebanding dengan kerja kerasnya.
Kisah yang ada dalam novel ini memang mengingatkan kita pada kehidupan di kampung halamanm dimana harta menjadi ukuran untuk menghargai sesama. Aku cukup terbawa suasana oleh pemeran antagonis Pak Sainuddin di novel ini. Sikapnya yang arrogan dan tak mau membantu sesamanya.
Pada halaman 20, kita akan melihat reaksi Pak Sainuddin ketika tahu bahwa anaknya Tenri memiliki kedekatan terhadap Malik. Perbedaan status sosial yang bagaikan langit dan bumi membuat ayah Tenri menolak mentah-mentah merestui hubungannya dengan Malik. Sebagai pembaca, hal ini sangat menarik, karena kisah ini memang kerap kita alami di kehidupan nyata.
Semenjak meninggalnya ibu Malik, Malik pergi meninggalkan kampung halamannya, Aku membayangkan suasana Gunung Loka di daerah tersebut saat Malik memiliki sepotong kenangan bersama Tenri. Sayangnya dia harus meninggalkan tempat itu untuk mencari harapan baru.
"Tak lagi ada harap di tanah kelahiran. Merantau adalah panggilan hati..." hal. 45
Novel karya Hamzir Usman merupakan karyanya yang pertama kali kubaca. Ada kesenangan tersendiri membaca novel dengan latar wilayah indonesia yang mengambil tempat di daerah-daerah pedalaman. Selama membaca buku ini, aku hanya sedikit kehilangan fokus saat menemukan beberapa typo yang mengurangi kesempurnaan cerita ini. Penyelesaian konflik terasa sangat cepat saat Malik meninggalkan kampung halamannya. Namun, tak mengurangi alur cerita tersebut terlebih lagi dibumbui kisah cinta antara Malik, Tenri dan Sani. Kira-kira siapa yang bakal berjodoh dengan Malik pemuda sederhana yang melewati segala kepedihannya dengan penuh kesabaran yah???
oiya aku nggak nyangka ending dari novel ini di luar dari dugaanku.
"Di jalanku kau hadir mengisi senyumku, sebagai peneduh di bawa nyiur, kan kukejar bayang-bayangku walau akhirnya tandus di salju gugur" hal. 125
Happy reading... :)
0 komentar:
Posting Komentar