Gemuruh tepuk tangan
terdengar di dalam gedung itu. Seorang perempuan mengenakan almamater kuning
maju melangkah dengan percaya diri ke atas panggung. Dia sudah menebak apa yang
akan terjadi di atas panggung itu. Dia merasakan detak jantungnya berdetak
lebih cepat dari biasanya saat namanya itu disebut di depan banyak orang.
“Beb, nama kamu udah di
panggil tuh, buruan naik gih. Semangaatt!!” Sahabatnya yang dari tadi duduk di
sampingnya pun turut bahagia.
“Iyah Li, aku.. ini
pertama kalinya bagiku.” Dia meremas ujung almamaternya, merasa belum percaya
dengan apa yang terjadi setelah semua perjuangannya beberapa hari yang lalu.
Dan hal yang paling membuatnya bahagia adalah hari itu merupakan pertama
kalinya memakai almamater kampusnya dengan sangat bangga. Dia mencari-cari
seseorang yang duduk di kursi VIP. Sosok itu ada di sana, dia bernafas lega
setelah melihat sosok yang dicari. Rupanya, sosok itu adalah Dekan kampus yang
akan mewakili kampus dan menemaninya untuk menerima penghargaan pertama dalam
hidupnya.
Semua audience terdiam. Mencari sosok yang
sudah disebutkan namanya oleh MC. Seakan tak percaya, kedua teman laki-laki
perempuan itu baru menyadari siapa yang dipanggil ke panggung. Rupanya pemilik
nama itu adalah temannya. Lily dan kedua teman laki-laki yang baru mengetahui
kabar itu ikut bersorak riang.
Dia sudah ada di atas
panggung, bersama MC dan salah satu pejabat tertinggi di Twitter Indonesia.
Sebuah plakat penghargaan diserahkan kepadanya. Dekannya pun ikut serta dalam pernghargaan
itu. Beberapa sorot kamera terarah di depannya. Dia tak pernah berhenti
melepaskan senyumnya. Sekali lagi, dia melirik almamater yang dikenakannya. Tak
ada mahasiswa yang memakai alamater kuning selain dirinya. Yah, dia sedang
menerima apresiasi itu di kampus lain yang sangat popular di tempatnya tinggal.
Tak apa. Dia cukup merasa bangga untuk pertama kalinya. Tak ada yang tahu
betapa berartinya hari itu baginya.
Dan sekali lagi, gemuruh tepuk
tangan kembali terdengar di gedung itu.
***
Sekelebat ingatan itu
muncul kembali saat perjalanan menuju bandara Sultan Hasanuddin. Pagi ini hujan
turun lebat. Ini pertama kalinya bagiku menuju bandara. Aku memang tinggal di
kota dan bisa menjangkau bandara. Hanya saja, tak ada alasan bagiku mendatangi
tempat ini. Namun, hari ini berbeda. Sabtu pagi disertai hujan, aku buru-buru
ke bandara Hasanuddin. Jadwal keberangkatan pukul 06.30 ke Jakarta. Sementara
itu, aku tiba di bandara untuk cek-in pukul 06.15.
Aku tak sempat
mengamati suasana di bandara Hasanuddin. Beberapa menit saat tiba, aku nge-blank. Karena merupakan pengalaman
pertama, aku cukup bingung apa yang harus dilakukan. Kubawa koper dan tasku di
depan salah satu stand maskapai pernerbangan. Aku bertanya ke salah satu
petugas bandara. Setelah berbincang sebentar, aku diarahkan ke petugas yang
menangani penerbangan yang akan berangkat ke Jakarta. Batik Air. Aku membuka
tas lalu kuambil tiket yang sudah dikirimkan melalui email. Kutunjukkan tiket
itu ke pramugari. Aku benar-benar gugup. Sendirian dan merasa asing. Bagaimanapun,
ini juga tantangan bagiku.
Setelah proses cek-in
selesai, aku bertemu dengan pak Bambang. Dari dua puluh tiga peserta EduHol
yang berangkat, mungkin aku yang paling beruntung, karena tidak melakukan
perjalanan ke ibu kota sendirian. Hal inipun sangat kumanfaatkan dengan baik.
Grogi yang tadinya membuatku sangat kaku, kini bisa lebih rileks pun ketakutanku pada orang asing berkurang. Dalam suasana seperti ini
aku cukup waspada.
Pak Bambang bekerja di
Telkomsel dan diutus untuk menemani kami selama di Austalia. Kami menuju gate
penerbangan selanjutnya untuk penerbangan Batik Air ke Jakarta. Sungguh, ini
juga perjalanan pertama bagiku!
Aku melihat sekeliling
bandara, tempatnya sangat nyaman dan luas. Di sini, aku berpapasan dengan
beberapa turis. Sepertinya, mereka baru saja tiba di bandara. Sebelum naik bus,
aku sempat mengambil gambar, mengabadikan momen berharga ini.
Akhirnya kami sampai di
pesawat Batik Air. Aku menaiki pesawat itu dengan pernumpang lain. Berkat
arahan dari salah satu pramugari, aku menemukan nomor kursiku dan yess, aku
duduk di dekat jendela. Ada rasa cemas yang teramat. Belum pernah kurasakan
berada di pesawat sebelumnya. Sekelebat pikiran negatif bermunculan di
kepalaku. Bagaimana kalau tiba-tiba pesawatnya jatuh, atau tiba-tiba pesawatnya
menabrak awan Columbus. Aku merasakan jantungku semakin berdetak saat pesawat
lepas landas. Kurasakan tulang-tulangku ngilu, nafasku terasa sesak. Mungkin
karena ini pengalaman pertama bagiku. Tiba-tiba aku teringat buku Critical Eleven karya Ika Natasya yang
pernah kubaca beberapa bulan yang lalu. Mungkinkah ini yang dimaksud critical Eleven? Ah aku mulai menghayal.
Tanpa terasa pesawat terbang secara normal dan critical elevennya sudah berlalu.
Karena cuaca yang buruk, pesawat bergetar beberapa kali. Seakan mengalihkan rasa takutku, aku mengamati para
pramugari yang sibuk melayani penumpang juga ada beberapa penumpang ke toilet
pesawat, beberapa yang lain lebih memilih tidur. Sementara aku? Aku tak
berhenti berdzikir dalam hatiku. Jujur saja aku masih merasa takut. Walau
sedikit bisa bernafas lega, tetap saja pikiran-pikiran negatif itu belum
hilang.
Hari saat pertama kali
aku berada di pesawat, aku merindukan kedua orangtuaku. Aku penasaran dengan
ekspresi mereka saat ini. Ini juga pertama kali bagi mama dan papa memberikanku
ijin bepergian jauh.
“Ma, Pa, perjalanan ini
seperti mimpi. Aku berkali-kali mencubit pipiku, takut jika ini hanya mimpi.
Tapi sakit. Dan kurasa ini memang bukan mimpi. Ma, Pa, apakah kalian bangga?”
Aku berbicara dengan diriku sendiri. Dan pembicaraan batin itu terhenti saat
sesuatu mencuri pandanganku melalui jendela pesawat.
“Subhanallah…” Jejeran
awan putih di bawah pesawat sungguh menakjubkan.
“Ini lautan awan!” Aku
merogoh catatan kecilku di dalam tas. Momen ini sungguh berarti bagiku, dan aku
nggak sabar menunggu kejutan-kejutan lainnya di Jakarta.
“Jakarta, I’m Coming”
Tulisku dalam secarik kertas.
0 komentar:
Posting Komentar