“Maaf, berkas anda ditolak! Silahkan lengkapi datanya yang tidak sesuai.”
“APA!!!?”
Jeritku dalam hati. Tidak mungkin! Selama berjam-jam aku menunggu nomor antrian
108 dari pagi menjelang waktu ashar. Dan saat giliranku tiba, berkasku ditolak!
03.00
“Maaf, KTP dan KK (Kartu Keluarga) Anda tidak
sesuai.” Dengan tegas, perempuan separuh baya itu menyodorkan kembali
dokumenku.
“Apa
iya?” Keningku berkerut. Kupandangai KTP dan KKku, kulihat nomor ID yang
tertera di dokumenku. Dan memang benar, datanya tidak sama.
“Ah
sial.” Aku membatin.
“Tapi
mba, KTP-ku yang ikut di KK ini sudah hilang dan diganti KTP baru. Apa iya
tidak bisa diterima? Ini KK asli dan KTP asli aku mba, Cuma KTP lamaku sudah
hilang.” Dengan sisa harapan yang kumiliki aku mencoba menegosiasi petugas itu.
“Maaf,
kami tidak bisa menerima dokumen Anda. Jika hilang, anda harus mencarinya. Dan
data KK serta KTP anda harus sama. Silahkan kembali jika sudah sesuai
data-datanya.” Petugas itu mengisyaratkan agar aku meninggalkan ruangan itu
cepat.
Aku meninggalkan ruang pemeriksaan dokumen di
kantor imigran. Hatiku berkecamuk, marah dan sangat kecewa. Kuambil
berkas-berkasku yang ditolak di atas meja. Sebelum aku pergi, kulirik sekali
lagi petugas imigran bagian passport itu. Usianya mungkin sudah memasuki kepala
tiga, dia sama sekali tidak menampakkan keramahan yang sungguh-sungguh, mungkin
petugas itu sudah lelah melayani puluhan bahkan ratusan masyarakat untuk
dibuatkan passport. Tapi, kubuang jauh-jauh rasa peduliku. Aku begitu kesal
dengan petugas itu.
Dari
kejauhan kulihat pak Kasim sedang menungguku di luar, dan tampaknya berita ini
juga akan membuatnya kecewa.
04.30
Apa
yang harus kulakukan?
Perjuanganku
selama mencetak KK asli terasa sia-sia. Dua hari yang lalu sebelum mengambil
nomor antrian, aku menghubungi adikku untuk mengirimkan dokumenku dari kampung.
Aku harus menunggu sehari dokumen itu, karena jarak kampung dan kota tempatku
kuliah lumayan jauh. Saat dokumen itu tiba, aku sangat bahagia. Sayangnya, KK
asli sudah tidak ada. Kata pak Kasim, kantor imigran tidak akan menerima
dokumen dalam bentuk kopian. Namun, saat hari pertama aku ke kantor imigran,
dokumenku ditolak. Dan saat aku bolak balik dari kampung mencetak KK asli di
Capil, lagi dan lagi dokumenku ditolak!
“Tidak
ada cara lain dek. Kecuali…” Kalimat itu menggantung. Selama perjalanan pulang,
aku dan pak Kasim sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Beliau sudah berbaik
hati membantuku ke kantor imigran. “Kecuali kalau kamu bisa mendapatkan KK yang
sesuai di KTPmu itu.” Pak Kasim mencoba mencari kemungkinan lain.
“Tapi
bagaimana? KK milik almarhum nenek sudah tiga tahun hilang. Dan aku tidak pernah
mencarinya.” Batinku.
Selama
perjalanan pulang, aku menggerutui diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu saat nenek
mengurus KTP elektronik, beliau menggunakan KK-nya untuk mendaftarkanku. Karena
sejak kecil aku tinggal di rumah nenek. Jadi, aku masuk dalam daftar KK beliau.
Namun setahun setelahnya, Ibu juga membuat KK yang baru tepat saat aku akan
melanjutkan kuliah di kota. Dan sialnya, KTP yang mengikut di KK milik ibu
hilang entah kemana.
“Kamu
harus pulang ke kampung mencarinya.” Suara pak Kasim memecah keheningan.
“Apa?
Pulang? Bagaimana mungkin. Waktu yang kumiiki hanya sedikit Pak, dan lagipula,
aku sudah kehabisan ongkos gara-gara kemarin.” Sayangnya aku hanya bisa
mengucapkan kalimat itu dalam hati. “Baik pak, insya Allah akan saya usahakan.”
Sial! Pada akhirnya kata ini yang keluar.
Satu-satunya
hal yang bisa kulakukan adalah menghubungi adikku. Dia harus membantuku mencari
KK asli almarhum nenek. Kedengarannya memang mustahil, karena KK itu sudah tiga
tahun tercecer entah di mana.
“Dik,
tolong aku mencari KK almarhum nenek yah.” Pintaku dalam SMS selama perjalanan
pulang.
“What?
tapi di mana aku mencarinya kak. Aku nggak tahu.” Kepalaku mulai pening. Wajar
jika adikku tidak tahu KK almarhum nenek.
“Please
dek, bantu aku…” Kubalas sekali lagi SMS adikku. Berharap dia akan mencarinya
di rumah nenek. Walalu kemungkinan besar dia tidak akan menemukan KK itu.
Kalaupun ketemu, mungkin kertasnya sudah hancur.
“Terima
kasih pak…” Akhirnya aku tiba di kosan. Sudah dua hari pak Kasim membantuku
mengurus passport di kantor imigran. Walau beliau diutus, aku merasa tidak enak
hati merepotkan beliau. Mobil itu kembali melaju.
05.55
“Kak, KKnya tidak ada! Aku sudah
mencarinya kemana-mana, tapi tidak ketemu. Maaf kak.”
Duaaar! SMS dari adikku seperti pukulan telak. Usaha terakhir yang kulakukan
tidak bisa menolongku. Dan aku memang tidak berharap banyak untuk dokumen itu
sendiri.
“Yasudah dek, mau di apa lagi. Makasih yah.”
Kurebahkan tubuhku di kamar. Kurasakan hatiku sesak. Perjuanganku selama lima
hari melengkapi dokumen, bolak-balik ke imigran, mencoba negosiasi, balik ke
kampung hanya sehari dan mendapatkan kehebohan di kantor capil terasa sia-sia.
Tanpa kusadari air mataku jatuh.
Seminggu
yang lalu,sebuah kabar mengejutkanku. Tanpa diduga, aku memenangkan salah satu
program yang diadakan oleh Telkomsel. Dan program itu untuk kalangan pelajar.
Dan aku memenangkan program itu sejak mengikutinya di bulan Maret lalu. Goes to
Sydney!
Program
Goes to Sydney serta training dari Telkomsel sangat menggiurkan. Bagaimana
tidak, semua akomodasi dan biaya selama perjalanan akan ditanggung. Dan tidak
hanya itu, kami akan mendapatkan training oleh Terrapiin London selama tiga
hari serta mendapatkan sertifikat Internasional. Belum lagi jalan-jalan ke
spot-spot terbaik di Sydney. Tapi, apakah aku akan batal mewujudkan mimpiku
hanya karena passport dan dokumen? Argh…. Pikiranku berkecamuk. Dan aku
betul-betul merasa frustasi.
06.10
Adzan
magrib sudah dikumandangkan. Dengan langkah gontai, kuambil air wudhu. Saat
melewati westafel, aku melihat wajahku sekilas. Mataku bengkak. Beberapa menit
lalu aku menangis. Mungkin, Allah punya cara lain mewujudkan mimpiku. Mungkin
belum saatnya aku ke Australia. Mungkin juga, ada tempat lain yang lebih
mengejutkan daripada ini. Mungkin ini belum rejekiku saja. Sekelebat
kemungkinan itu muncul berargumen di pikiranku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain
meyakinkan diriku sendiri. Walau aku tak bisa membohongi perasaanku, jika hal
itu sangat kuinginkan. Tetapi, semua sudah kulakukan semampuku mengurus
passport itu. Aku pasrah. Apapun yang akan terjadi.
06.25
Seusai
shalat, aku menyandarkan bahuku di dinding kamar. Hening. Teman-temanku yang
lain sibuk di kamar masing-masing. Kupejamkan mataku perlahan. Kuingat mimpi-mimpiku
dulu. Ingatanku kembali dua tahun lalu. Saat aku masih mahasiswa baru. Saat
itu, aku mengikuti salah satu bimbingan belajar bahasa inggris. Jaraknya cukup
jauh dari kosanku tinggal, namun aku sangat antusias saat itu.
Aku
masih ingat saat terakhir mengikuti bimbel itu. Kak tentor menyuruh kami
menulis di kertas yang dibagikan. Kami harus menulis mimpi kami di kertas
kosong itu. Apa yang akan kamu capai saat mencapai usia 22 tahun. Aku berpikir
sejenak. Merenungkan tentang mimpi-mimpi yang ingin kuwujdkan. Namun, perasaan
aneh menelusup tiba-tiba. Aku merasa kehilangan sesuatu. Apakah pilihanku
kuliah di tempat itu saat ini sudah tepat, meski berbanding terbalik dengan
kata hatiku? Segera kusingkirkan pikiran itu jauh-jauh. Belakangan ini selama
maba, aku merasa menyesali keputusanku. Tapi, tak ada cara lain untuk mengubah
keputusan itu. Lagipula aku punya alasan di balik keputusan itu.
Kuambil
pena dan secari kertas, lalu aku mulai menulis, “on 22th, I wanna go abroad. Go
to Australia and explore it!....and so on.” Secarik kertas itu entah di mana
sekarang. Dan mimpi yang pernah kutuliskan sudah lama kulupakan. Dan saat mimpi
itu terwujud, semuanya terhenti hanya sebuah passport. Dan mungkin, itu hanya
akan menjadi sebuah mimpi.
“Kring….”
Deringan hpku membuatku tersadar dari nostalgiaku yang tiba-tiba.
“Kak, KK ASLINYA SUDAH KUDAPAT!”
Apa?
Aku terlonjak membaca SMS dari adikku. Bagaimana mungkin?
Seperti
merasa disambar sebuah petir, aku berucap syukur yang teramat kepada Allah. Dan
lagi, saat semuanya mendapati jalan buntu, di mana mimpi-mimpi yang pernah
kutulis terasa sirna, dan saat perjuangan sudah mencapai titik akhir, dan saat
itulah Allah memberikan sebuah keajaiban.
“Tapi
bagamaina cara kau mengambilnya kak?” SMS terakhir dari adikku tidak membuatku
berhenti begitu saja. Drama ini belum usai. Masih ada harapan di sana. Dan
secepat kilat, ide itu muncul dalam pikiranku.
“Eureka!”
Dokumen itu insya Allah bisa sampai besok pagi. Kucari-cari nomor yang bisa
membantuku untuk urusan itu.
“Alhamdulillah”
“Selalu
ada perjuangan bahkan saat semuanya sudah diperjuangkan. Karena ujung kehidupan
masih jauh. Tiada tempat untuk memberhentikan langkah sebelum semuanya tiba di
ujung. Karena itu, jangan pernah menyerah.”--AE--
break your limits...i like your spirit dek..always effort the best on your life..i support u
BalasHapusthanks kak
Hapus