***
Aku
termangu dalam ruang kelas. Hening. Begitulah saat pertama memasuki
ruangan ini. Hanya ada tiga mahasiswa di dalamnya termasuk aku, mereka
sibuk dengan hp masing-masing, acuh. Aku duduk di bangku kedua dekat
jendela. Aku menyukai duduk di ruangan dekat jendela, apalagi jika
gedung tempat aku duduk itu di lantai atas. Aku dengan leluasa bisa
menikmati pemandangan dari kejauhan, melihat lalu-lalang orang-orang
berjalan, keriuhan mobil-mobil dan kendaraan lainnya yang juga saling
berdesakan, berlomba saling melambung, padahal jika terjadi tabrakan,
mereka saling menyalahkan satu sama lain.
Aku
mengalihkan pandanganku pada langit. Tak ada langit biru di sana yang
selalu kupandangi sebelum September. Ah, aku lupa. Hari ini sudah memasuki akhir bulan September awal musim huja di kota tempat aku tinggal. Keheningan di kelas, dan kurangnya
mahasiswa yang datang mungkin juga karena hujan. Di luar, hujan sangat
deras. Berkali-kali ku lap jendela. Pergelangan tanganku basah. Aku
kedinginan. Rupanya, aku lupa memakai jaket atau sweater.
Sepuluh
menit, duapuluh menit berlalu. dua mahasiswa tadi jumlahnya bertambah.
Setelah kuhitung dalam hati, jumlahnya lima belas orang. Sangat sedikit.
Dosen juga belum datang. Sudah tigapuluh menit berlalu. Seharusnya
proses belajar sudah berlangsung, tapi kali ini sepertinya terlambat.
Seorang mahasiswa memasuki kelas memakai mantel hujan. Mungkin, dia
lupa membuka mantelnya itu. Air merembes kemana-mana. Seketika, seorang
mahasiswi duduk tak jauh dariku menegurnya. Dan saat itu juga, mahasiswa
itu beringsut keluar membuka mantelnya, lalu masuk kembali.
Aku
kembali mengarahkan pandanganku ke jendela. Hujan semakin bertambah
deras, suara petir terdengar sesekali. Hening dan juga cemas. Jika sudah
terdengar petir, aku diliputi rasa cemas karena suaranya yang
menggelegar. Dalam waktu yang bersamaan, ingatanku merembes ke masa
lalu. Masa kecil yang sangat bahagia, bermain hujan-hujanan bersama adikku, meski dilarang ibu, kami tetap saja bermain. Aku juga teringat saat ayah basah kuyup membawa buah umbi-umbian dari kebun, biasanya ketika ayah mendapati kami main hujan, ayah dengan senyumnya yang selalu ramah menegur kami. Hanya sekali teguran, kami menurut, masuk ke dalam rumah. Lima tahun yang lalu, saat di penghujung September, ayah dan ibu pergi di tanah rantau. Perpisahan yang memilukan bagiku tepat saat hujan turun.
Aku tak tahu, mengapa hujan selalu saja identik dengan kenangan, baik itu bahagia maupun sedih Tak jarang, saat kenangan itu ternyata perih, bulir air mata juga berjatuhan seperti hujan. Namun, aku tak keberatan menangis semauku saat hujan tiba. Bagiku, hujan menyamarkan suara tangisku dari siapapun, hujan juga bisa menyamarkan air mataku. Aku bisa saja berdalih bahwa ini bukan air mataku, melainkan air hujan.
Aku tak tahu, mengapa hujan selalu saja identik dengan kenangan, baik itu bahagia maupun sedih Tak jarang, saat kenangan itu ternyata perih, bulir air mata juga berjatuhan seperti hujan. Namun, aku tak keberatan menangis semauku saat hujan tiba. Bagiku, hujan menyamarkan suara tangisku dari siapapun, hujan juga bisa menyamarkan air mataku. Aku bisa saja berdalih bahwa ini bukan air mataku, melainkan air hujan.
Aku
benci dengan orang yang mengumpat saat hujan datang. Beberapa orang,
saat musim kemarau melanda, mereka meminta-minta hujan hingga berteriak
lantang ke langit, dan saat hujan tiba di bulan September, beberapa
orang tadi malah mengumpat hujan yang datang tanpa henti, tak terduga.
Dulu, aku juga pernah seperti itu. Namun, sejak kejadian hari itu, aku tak lagi
mengumpat kedatangan hujan, malah aku menyukai hujan. Seolah hujan jauh
lebih mengerti tentang perasaan yang diam-diam tersembunyi, menyamarkan air mata, menutupi suara isak tangis.
"Kau
tahu, hujan tak pernah jadi penghalang. Ia hanya membasahi." Kata-kata
itu masih terngiang di benakku saat mengumpat hujan manakala ingin
pulang ke rumah. Benar kata dia, hujan tak pernah jadi penghalang.
Lalu, kenapa orang berlarian mencari tempat teduh saat hujan tiba? Takut
basah kan? jadi dia bukan penghalang!
Embun
hujan merembes ke dinding jendela, membentuk butir-butir air, perlahan
jatuh membentuk lekukan seperti sungai. Di ujung jalan sana, pandanganku
terhenti pada sepasang kekasih yang berjalan di bawah payung. Aku
ingat, mereka adalah tetanggaku, Sebelum berangkat ke kampus, aku sempat
mendengar suara gaduh ribut-ribut di dekat rumah. Rupanya sepasang
kekasih itu sedang meributkan sesuatu. Aku belum tahu nama mereka,
karena aku penghuni baru di kompleks itu. Namun, aku menangkap sesuatu
yang berbeda saat ini. Di tengah hujan yang deras, laki-laki itu merangkul
pasangannya, yang kukira isterinya. Mereka sudah tua, jika kutebak,
lelaki itu berumur lima puluhan, dan isterinya tak jauh berbeda dari
usianya. Mereka berjalan dalam satu payung, romantis sekali, pikirku.
Laki-laki itu seperti tak ingin tetes hujan membasahi isterinya. Entah
kenapa, hatiku diliputi perasaan bahagia melihat sepasang kekasih itu.
Dari kejauhan, lamat-lamat kulihat keduanya berjalan pelan-pelan dalam
satu payung, saling merangkul, melindungi diri dari hujan.
"Ah,
hujan. Bahkan saat seperti ini pun meski dihindari, sesungguhnya hujan
menyatukan sepasang kekasih yang tadinya bertengkar. Tanpa sadar, hujan
mendekatkan jarak yang jauh dalam satu payung."
Lamunanku
buyar seketika. Saat seseorang memberi salam di kelas. Rupanya dia
dosenku. Aku kembali dalam dunia nyataku. Sekali lagi, kulirik hujan
yang merembes membasahi jalanan, rumah-rumah, pohon-pohon, dan apa saja
yang bisa digapai hujan. Kuraih buku dan pulpen dalam tasku. Sebelum
menyimak pelajaran dari dosenku, aku menulis.
0 komentar:
Posting Komentar