Hujan di Bulan September

"Karena hujan bukan penghalang..."


***
Aku termangu dalam ruang kelas. Hening. Begitulah saat pertama memasuki ruangan ini. Hanya ada tiga  mahasiswa di dalamnya termasuk aku, mereka sibuk dengan hp masing-masing, acuh. Aku duduk di bangku kedua dekat jendela. Aku menyukai duduk di ruangan dekat jendela, apalagi jika gedung tempat aku duduk itu di lantai atas. Aku dengan leluasa bisa menikmati pemandangan dari kejauhan, melihat lalu-lalang orang-orang berjalan, keriuhan mobil-mobil dan kendaraan lainnya yang juga saling berdesakan, berlomba saling melambung, padahal jika terjadi tabrakan, mereka saling menyalahkan satu sama lain.

Aku mengalihkan pandanganku pada langit. Tak ada langit biru di sana yang selalu kupandangi sebelum September. Ah, aku lupa. Hari ini sudah memasuki akhir bulan September awal musim huja di kota tempat aku tinggal. Keheningan di kelas, dan kurangnya mahasiswa yang datang mungkin juga karena hujan. Di luar, hujan sangat deras. Berkali-kali ku lap jendela. Pergelangan tanganku basah. Aku kedinginan. Rupanya, aku lupa memakai jaket atau sweater. 

Sepuluh menit, duapuluh  menit berlalu. dua mahasiswa tadi jumlahnya bertambah. Setelah kuhitung dalam hati, jumlahnya lima belas orang. Sangat sedikit. Dosen juga belum datang. Sudah tigapuluh menit berlalu. Seharusnya proses belajar sudah berlangsung, tapi kali ini sepertinya terlambat. Seorang mahasiswa memasuki  kelas memakai mantel hujan. Mungkin, dia lupa membuka mantelnya itu. Air merembes kemana-mana. Seketika, seorang mahasiswi duduk tak jauh dariku menegurnya. Dan saat itu juga, mahasiswa itu beringsut keluar membuka mantelnya, lalu masuk kembali.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke jendela. Hujan semakin bertambah deras, suara petir terdengar sesekali. Hening dan juga cemas. Jika sudah terdengar petir, aku diliputi rasa cemas karena suaranya yang menggelegar. Dalam waktu yang bersamaan, ingatanku merembes ke masa lalu. Masa kecil yang sangat bahagia, bermain hujan-hujanan bersama adikku, meski dilarang ibu, kami tetap saja bermain. Aku juga teringat saat ayah basah kuyup membawa buah umbi-umbian dari kebun, biasanya ketika ayah mendapati kami main hujan, ayah dengan senyumnya yang selalu ramah menegur kami. Hanya sekali teguran, kami menurut, masuk ke dalam rumah. Lima tahun yang lalu, saat di penghujung September, ayah dan ibu pergi di tanah rantau. Perpisahan yang memilukan bagiku tepat saat hujan turun.

Aku tak tahu, mengapa hujan selalu saja identik dengan kenangan, baik itu bahagia maupun sedih Tak jarang, saat kenangan itu ternyata perih, bulir air mata juga berjatuhan seperti hujan. Namun, aku tak keberatan menangis semauku saat hujan tiba. Bagiku, hujan menyamarkan suara tangisku dari siapapun, hujan juga bisa menyamarkan air mataku. Aku bisa saja berdalih bahwa ini bukan air mataku, melainkan air hujan. 

Aku benci dengan orang yang mengumpat saat hujan datang. Beberapa orang, saat musim kemarau melanda, mereka meminta-minta hujan hingga berteriak lantang ke langit, dan saat hujan tiba di bulan September, beberapa orang tadi malah mengumpat hujan yang datang tanpa henti, tak terduga. Dulu, aku juga pernah seperti itu. Namun, sejak kejadian hari itu, aku tak lagi mengumpat kedatangan hujan, malah aku menyukai hujan. Seolah hujan jauh lebih mengerti tentang perasaan yang diam-diam tersembunyi, menyamarkan air mata, menutupi suara isak tangis. 

"Kau tahu, hujan tak pernah jadi penghalang. Ia hanya membasahi." Kata-kata itu masih terngiang di benakku saat mengumpat hujan manakala ingin pulang ke rumah. Benar kata dia, hujan tak pernah jadi penghalang.  Lalu, kenapa orang berlarian mencari tempat teduh saat hujan tiba? Takut basah kan? jadi dia bukan penghalang!

Embun hujan merembes ke dinding jendela, membentuk butir-butir air, perlahan jatuh membentuk lekukan seperti sungai. Di ujung jalan sana, pandanganku terhenti pada sepasang kekasih yang berjalan di bawah payung. Aku ingat, mereka adalah tetanggaku, Sebelum berangkat ke kampus, aku sempat mendengar suara gaduh ribut-ribut di dekat rumah. Rupanya sepasang kekasih itu sedang meributkan sesuatu. Aku belum tahu nama mereka, karena aku penghuni baru di kompleks itu. Namun, aku menangkap sesuatu yang berbeda saat ini. Di tengah hujan yang deras, laki-laki itu merangkul pasangannya, yang kukira isterinya. Mereka sudah tua, jika kutebak, lelaki itu berumur lima puluhan, dan isterinya  tak jauh berbeda dari usianya. Mereka berjalan dalam satu payung, romantis sekali, pikirku. Laki-laki itu seperti tak ingin tetes hujan membasahi isterinya. Entah kenapa, hatiku diliputi perasaan bahagia melihat sepasang kekasih itu. Dari kejauhan, lamat-lamat kulihat keduanya berjalan pelan-pelan dalam satu payung, saling merangkul, melindungi diri dari hujan.

"Ah, hujan. Bahkan saat seperti ini pun meski dihindari, sesungguhnya hujan menyatukan sepasang kekasih yang tadinya bertengkar. Tanpa sadar, hujan mendekatkan jarak yang jauh dalam satu payung."

Lamunanku buyar seketika. Saat seseorang memberi salam di kelas. Rupanya dia dosenku. Aku kembali dalam dunia nyataku. Sekali lagi, kulirik hujan yang merembes membasahi jalanan, rumah-rumah, pohon-pohon, dan apa saja yang bisa digapai hujan. Kuraih buku dan pulpen dalam tasku. Sebelum menyimak pelajaran dari dosenku, aku menulis.

"Selamat datang, hujan di bulan September."

***

Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba giveaway di blog  https://agungrangga.com/2016/10/07/giveaway-cerita-hujan/

banner giveaway cerita hujan

--------
Pict taken by google
12 Okt_16

0 komentar:

Posting Komentar

Member of Stiletto Book Club

Komunitas Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Member of Warung Blogger

Warung Blogger

Member of Blogger Perempuan

Member Hijab Blogger

Free "Care" Day

Free "Care" Day