Jika kau buka lembaran diary yang kuselipkan di bawah bantal sesaat sebelum tidur, lalu kau ambil diary itu perlahan saat aku mulai terlelap dalam tidurku. Sebetulnya, malam saat kau datang membuka pintu kamarku, mengerjap-ngerjap seperti derap langkah maling, aku belum tidur.
Aku kira, kau adalah maling yang datang diam-diam ke kamarku. Ada sedikit rasa cemas dalam tanyaku. Tapi, rasa cemas itu hilang seketika saat kau menyelimuti diriku yang selalu lupa mengambil selimut sebelum tidur.
Mungkin kau mengira aku sudah tidur. Belum Papa. Aku belum tidur. Aku hanya pura-pura tidur.
Ada yang aneh dari gerak gerikmu dari biasanya. Hari-hari sebelumnya seperti biasa kau datang ke kamarku, menyelimutiku, lalu mengusap-usap ubun-ubunku kemudian mematikan lampu kamarku.
Malam ini, kau terasa berbeda. Seolah sesuatu di bawah bantalku di tarik. Oh tidak. Kau mengambil buku diary milikku. Buku yang semua rahasiaku kutulis rapi di sana.
Aku mendengar suara gemeresek kertas halaman demi halaman kau buka. Aku mendengarmu tertawa, kadang diam, lalu berdecak-decak seolah-olah kagum dengan tulisanku.
Kau tahu Pa, aku terus berdoa dalam hati, semoga matamu lelah membaca deretan tulisanku bak cakaran ayam, atau tiba-tiba kau disergap rasa bosan karena membaca diary anak remajamu, atau yang paling kuharapkan adalah kau tiba-tiba sakit perut lalu harus ke wc, jika tidak, harapan terakhirku salah satu teman papa menelpon papa.
Dan nyatanya doaku hanya sebatas doa. Kau tak berhenti membuka lembaran demi lembaran diary-ku. Mulanya aku mengira kau sedang sakit. Flu mungkin. Begitu gumamku dalam hati. Tapi oh tidak. Ada bulir-bulir air mata menjatuhi lengan tangan kananku. Apakah kau menangis?
Manakah bagian diaryku yang kau tangisi?
Manakah bagian diaryku yang kau tangisi?
Papa... Maafkan aku. Awal lembaran diaryku memang akan menggugahmu. Akan membuatmu berdecak-decak kagum. Tapi, lembaran setelahnya adalah lembaran yang ditulisi sajak kesedihan. Yah kesedihan. Seperti daun kering yang meninggalkan rantingnya. Ia hanya bisa jatuh, memasrahkan hidupnya pada angin yang akan membawanya entah kemana. Ia daun kering yang sudah mati. Seperti diriku.. Maafkan aku Pa...
(07 sept_16)
0 komentar:
Posting Komentar