Di
sela gerimis hujan, Ryan meninggalkanku setelah puas meluapkan kekecewaannya
padaku. Ryan yang kecewa karena tidak kuturuti kemauannya. Tidak untuk kali ini. Maka setelah redam
emosiku, aku menutup pintu rumah. Tak kupedulikan Ryan yang tega mengucapkan
kata-kata kasar kepadaku. Aku
hanya ingin menangis. Meringkuk di dalam kamar. Takkan ada yang mendengarnya. Di sini, kurasakan dadaku sesak, seperti ngilu menjalar ke seluruh tubuhku. Aku
yang menanggung pedih hanya mampu melihat rintik di balik jendela. Meratapi
semua yang telah terjadi. Aku, hidupku, dan Ryan.
***
“Sayang,
kamu baik baik aja kan?” Tanya Ryan menatapku lembut.
“Ia,
enggak apa-apa. Bukan luka serius.” Sahutku.
Sebenarnya,
aku cukup trauma dengan kejadian semalam. Ryan yang masih setengah sadar karena
mabuk mengantarkanku
pulang ke rumah. Aku yang tengah mabuk juga saat itu, tidak memperhatikan Ryan
mengendarai motornya.
Kami
jatuh terpelanting dari tanah. Ryan tak sengaja menabrak pohon. Ryan tidak
mengalami luka serius. Masalahnya ada pada diriku. Karena pingsan, Ryan membawaku ke rumah sakit
menaiki taksi. Aku baru sadar dipagi
hari. Kudapati Ryan sedang merebahkan
kepalanya di sampingku.
“Ryan,
antar aku pulang. Enggak tahan bau obat di rumah sakit ini”. Aku menggerutu.
Ryan
hanya mengangguk pelan. Ia tak banyak berkata. Aku memandang Ryan begitu dalam. Ada kekosongan di hatiku meski telah
menjalani hubungan dengannya hampir dua tahun.
***
Aku
tak sengaja bertemu dengan Ryan di taman. Aku yang tengah kalut dan bimbang
atas masalah yang kuhadapi memilih untuk menyendiri di taman. Seorang pria yang
tak jauh dari taman datang menghampiriku. Aku tak menyadari dia telah
memperhatikanku sejak tadi. Merasa tertangkap basah, aku hanya kikuk melihat
pria itu menghampiriku. Awalnya tak kuhiraukan kedatangannya yang sok akrab
duduk di dekatku. Sebenarnya, dia terlihat tampan, kulitnya putih hampir sama
dengan warna kulitku ditambah
badannya yang tegap dan tinggi itu. Tapi sayang, aku sedang badmood hari
itu. Namun, dia terus merecokiku dengan pertanyaan seolah-olah
sudah sangat akrab denganku, kenapa aku menangis, dimana dan siapa aku.
Untuk
sesaat aku merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaannya namun, ia tak menyerah
begitu saja sampai aku benar-benar dibuat tersenyum oleh gurauannya yang
kebanyakan berisi gombalan. Dia seorang yang humoris. Dan belakangan kutahu
pria itu bernama Ryan.
Itulah
awal pertemuanku. Awal yang menjadi titik pertama dimana aku mengenal dunia
gelap. Ryan menggiringku ke sisi gelap kehidupannya. Aku yang memendam luka
saat itu, ikut terbawa arus hidupnya. Statusku sebagai mahasiswa baru tak
kuhiraukan. Aku mengagumi pikiran Ryan saat itu. Katanya, cara terbaik
menghapus luka adalah menikmati kebebasan hidup. Tanpa terikat oleh aturan,
oleh keluarga, apalagi agama. Anehnya, aku menikmati dunia Ryan. Tempat dimana
aku melakukan pelarian.
***
“Alya,
jangan bengong aja, katanya mau pulang. Ayo kita pulang sekarang.” Suara Ryan
mengaburkan lamunanku. Itu adalah hari terakhir Ryan menatapku dengan lembut.
Tak ada lagi pesta malam bersama teman-temannya di rumah kontrakanku. Tak ada
lagi hura-hura malam minggu di diskotik.
Aku benar-benar menutup diriku setelah kejadian malam itu. Keadaan dimana kami
jatuh terpelanting di jalan. Kusangka itu adalah hari kematianku. Dan aku, merasa
belum siap menghadapi kematian.
***
Hampir
sebulan lamanya aku menghindari Ryan. Tak ingin bertemu dengannya apalagi
menuruti ajakannya. Aku sudah lelah dalam pelarianku. Aku memang sudah lama
berpacaran dengan Ryan, tapi aku tidak benar-benar mencintainya. Aku lelah
menjalani dunianya yang sangat bebas. Dan akupun menjelma menjadi seorang gadis
yang hampir sama dengan kehidupan seorang pelacur.
Sebulan
kemudian, Ryan datang di rumahku. Mendobak-dobrak pintu rumahku. Mau tidak mau,
aku tak bisa lagi menghindar. Aku membuka pintu rumah, belum sempat menyapa
Ryan, dia tiba-tiba menamparku.
“Dasar
wanita murahan! Kamu tak lebih dari seorang pelacur. Kamu pikir kamu siapa
menghindariku? Oh.. kamu mau putus? Terserah. Aku kesini hanya mau memastikan hubungan
kita. Alya, kita putus!”.
Ryan
memaki-makiku tanpa memberi jeda untuk melawan, setelah menumpahkan
kekesalannya, dia membanting pintu. Dan aku? Tamparannya memang terasa sakit.
Namun, kata-katanya jauh lebih menyakitkan. Ucapannya itu pulalah yang
menggiringku keluar dari dunianya.
Di
kamar ini aku menangis sejadi-jadinya. Kubiarkan tirai jendela terbuka. Agar
aku bisa melihat hujan gerimis.
Aku benar-benar menyesal. Duhai Tuhanku, aku benar-benar menyesal. Menyesali
pelarianku. Berpisah dengan orangtuaku adalah sebuah kenyataan yang tak bisa
kuhadapi. Aku menyangka perkataan Ryan benar tentang kebahagiaan, nyatanya aku
makin menderita.
***
Tujuh
tahun telah berlalu.
Sepenggal
kenangan di atas adalah sepotong kisahku yang kelam. Tak ada lagi Ryan dalam
hidupku.
Aku
bersyukur atas tindakannya hari itu. Saat ia mendobrak pintu rumahku, saat ia
menamparku dengan keras. Dan saat ia menusuk ulu hatiku dengan kata-katanya.
Ucapannya tidak salah. Aku memang merasa seperti pelacur. Membiarkan tubuhku
disentuh olehnya yang bukan suamiku. Saat malam tiba, seharusnya aku berada di
dalam rumah. Namun, aku hanya pergi bersama Ryan, menikmati kehidupan bebas.
Menyelami tempat-tempat diskotik. Aku memang bukan pecandu saat itu, tapi semua
yang telah kulakukan hanya menambah luka di hatiku.
Malam
saat aku meringkuk di dalam kamar, aku merasa sesuatu menyelip ke dasar hatiku.
Membuatnya hangat. Aku hampir putus asa dan berfikir untuk mengakhir semuanya.
Namun, suara itu, gerimis hujan dan paduan suara adzan seakan-akan memanggilku.
Menahan gerak langkahku yang sebentar lagi mengambil pisau. Wajah-wajah hangat
kedua orangtuaku hadir dipermukaan ingatanku. Kepingan-kepingan masa lalu
muncul di benakku.
Seorang
gadis kecil, dengan seksama memerhatikan Ayahnya yang sedang berkerja di
ladang. Ibu yang dengan telaten menyiapkan makanan. Semua kenangan ini perlahan
muncul kembali di hadapanku. Gadis kecil itu adalah diriku. Masa laluku.
Seharusnya aku tak menyalahkan keadaanku. Menyalahkan nasib karena kepergian
mereka. Celakanya, pelarianku menambah luka di hatiku. Pantaskah aku di ampuni
oleh-Nya? Berharap
mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Ryan? Aku ingin memiliki keluarga
bahagia. Namun, diriku terlanjur kotor, masihkah kuberharap mendapatkan sosok
pendamping hidup yang soleh? Sementara diriku jauh dari kebaikan.
Aku
terus bergelayut dalam pikiranku. Suara adzan seolah mengilhamiku hidayah. Aku tak mau mati
sia-sia. Aku ingin merubah hidupku lebih baik.
Saat
aku duduk di tepi ranjang, kupandangi tirai jendela yang tersingkap. Di luar
sedang gerimis. Ingatanku melayang tujuh tahun lalu. Gerimis hujan seakan
menjadi saksi saat dimana Ryan mengucapkan kata-kata kasarnya, bagaimana ia
berubah drastis saat aku menghindarinya. Dengan enteng meninggalkan diriku yang
sangat terluka. Namun. kejadian
itu pula yang menggiringku ke tempat baru. Tempat dimana aku mendapati seberkas
cahaya. Ada sedikit harapan. Dan harapan itu untuk berubah. Apakah Allah akan
mengampuni dosa-dosaku?
Aku
yang terbiasa hidup mandiri dan terpisah dari keluarga, sangat minim
pengetahuan agamanya. Apalagi teman-teman dekatku. Tak ada yang betul-betul
mengajakku belajar agama. Bagaiman mungkin aku berharap itu, sementara aku
hanya dekat dengan Ryan dan teman-temannya. Dan aku seperti hilang dalam gurun
pasir. Tapi tidak untuk hari itu, masih ada harapan.
***
Aku
mengunjungi teman lamaku saat SMA. Dulu,kami sangat akrab. Namanya Aisyah.
Gadis berkulit putih yang berhijab. Kami sama-sama anggota OSIS saat SMA.
Diam-diam kukagumi kepribadiannya. Saat ingin merubah hidupku, wajahnya
terbayang dalam benakku. Hanya dia satu-satunya teman dekatku. Meski sudah lama
tidak berkomunikasi, aku yakin Aisyah pasti akan membantuku.
Aku
mencari nomor Aisyah melalui akun facebooknya. Aku pikir dia sudah tidak aktif
lagi di media social. Ternyta, ia
masih sama seperti dulu.
Memanfaatkan media sosial untuk berdakwah.
Rumah
Aisyah tidak terlalu sulit untuk kudatangi, meskipun jaraknya jauh. Tekadku
sudah bulat. Aku ingin menjadi wanita muslimah. Bagaimana mungkin aku berharap
akan mendapatkan pendamping hidup yang layak apalagi beriman jika diriku
berantakan? Adakah yang mau menerima masa laluku? Aku memang mendambakan
seorang imam dalam hidupku kelak, tapi sungguh aku khawatir jika Allah tidak
mengampuniku.
Hari
itu, aku mengutarakan semua kisahku pada Aisyah. Kenapa aku terjebak dalam
gemerlap dunia bebas. Bagaimana aku mengakhiri hubunganku dengan Ryan.
“Alya,
apa yang terjadi padamu adalah cobaan. Aku nggak bermaksud untuk menggurui.
Kedatanganmu di sini dan tentang tekadmu untuk berubah adalah hidayah, Alya.” Aisyah memelukku
erat. Kata-katanya seolah menyirami dasar hatiku yang sudah lama membeku.
“Jika
kamu ingin berubah, tetaplah beristiqamah. Niatkan sepenuh hati. Aku yakin,
kamu akan jauh lebih pantas mendapatkan pengganti Ryan. Allah itu Maha Pengasih
dan Pengampun, sebesar apapun dosa kita, Allah akan mengampuninya Alya. Bahkan
rasa saying-Nya
jauh lebih besar dibanding sifat murka-Nya.”
Aisyah
menggamit tanganku. Seolah ia membagikan energinya dalam tubuhku. Berbagi
tentang keyakinannya selama ini. Dan aku merasa bahagia. Tak ada yang lebih
menyenangkan jika memiliki sahabat solehah.
“Sesungguhnya
Lelaki baik-baik adalah untuk wanita baiik-baik. Begitupun sebaliknya. Jangan
patah semangat Alya. Allah bahkan berjanji kepada siapa yang ingin berbuat
baik. Malah membalasnya lebih dari yang kita kira. Jodoh itu adalah cerminan
diri kita. Sebagai teman, aku selalu siap membantumu kapanpun kamu mau. Kita
akan belajar bersama-sama. Karena hidayah itu anugerah”.
Aisyah
menutup nasehatnya
dengan kalimat indah itu. Hari dimana aku memulai belajar menjadi lebih baik.
Kata-katanya telah kusimpan rapi dalam ingatanku. Untuk pertama kalinya setelah
beberapa tahun aku menyentuh air wudhu. Aisyah dengan sabar menuntunku.
Mengajariku mengaji dan shalat.
Hampir
setiap hari aku ke rumah Aisyah. Aku belajar darinya secara perlahan-lahan. Dan
seperti guru, Aisyah sangat hati-hati dan sabar membimbingku. Waktu terus
berjalan, aku mulai mengenakan jilbab. Kudatangi tempat majlis-majlis dimana
Aisyah ikut ke pengajian. Banyak yang mengira kami ini saudara.
Aku
mulai menata hidupku. Selain mendalami agama bersama Aisyah, aku menyelesaikan
gelar sarjana ku.
Empat
tahun telah berlalu. Aisyah menghadiri acara wisudaku, saat syukuran bersama
sahabat-sahabat yang lain, aku merasa menjadi diriku sendiri. Mereka adalah
wanita-wanita muslimah sahabat Aisyah. Dan hari itu sekaligus acara perpisahan
kami.
Aku
melanjutkan kuliahku di Universitas Islam Malaysia di Kuala Lumpur. Kata Aisyah,
aku bisa bertemu dan belajar dari guru-gru besar di sana. Kumanfaatkan beasiswa
yang kudapat dari kampus. Tak akan pernah kulupakan jasa-jasa Aisyah padaku.
Jika ada anugerah lain selain hatiku tergerak oleh-Nya, maka Aisyah adalah anugerah
itu. Sahabat yang dikirim oleh Allah untukku.
***
Aku
tersadar dari lamunanku. Mengingat sepotong memori masa laluku. Dan hari ini
ketika aku duduk di tepi jendela, menatap gerimis hujan. Suara adzan
berkumandang. Seseorang melingkarkan tangannya ke pinggangku. Aku berbalik dan
tersenyum padanya. Seorang pria yang telah menjadi suamiku. Tujuh tahun telah
berlalu. Merupakan perjalanan hati dari seorang gadis terpuruk mencari cahaya
pengampunan untuk menjadi lebih baik. Dan Allah tidak hanya mengampuniku, Dia
menganugerahiku seorang sahabat yang baik, Aisyah. Dan seorang suami yang
soleh.
“Perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk
perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan
yang baik (pula)” Gumamku dalam hati seraya tersenyum sumringah memeluk kekasih
halalku.
“Bukan
seberapa banyak dosamu, tapi seberapa sunnguh taubatmu. Jemputlah hidayah,
anugerah terindah”.
***
Sekian
Note : Cerpen ini ikut dalam writing competition dari @Islamiposter. Selesai ditulis tanggal 5 Sept 2016. Telah didaftarkan pada tanggal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar