Aku menepi di beranda rumah lantai dua tempat dimana aku tinggal
selama kuliah. Sudah tiga tahun aku meninggalkan kampung halaman yang
corak dengan ketabahan dan gotong royong para tetangga. Aku duduk
termangu menopang dagu melihat bintang-bintang di langit.
Sayangnya
tak kulihat banyak bintang di langit. Aku lupa ini baru pukul 07.30 pm.
Rumah kontrakanku tak jauh dari kampus, hanya bersebelahan itu pun
terpisah oleh satu dinding kokoh dan tinggi. Tak sampai tiga menit aku
tiba di kelas. Selama kuliah, semuanya berjalan lancar. Hanya satu yang
kurang. Rindu untuk pulang.
Gemuruh suara
gendang dan takbiran membuat nadiku berdenyir. Terbayang sosok Ayah yang
biasanya bersibuk-sibuk dengan ibu menyiapkan segala makanan untuk
penjamuan tamu saat hari raya, pun tak lupa mereka sisihkan untuk para
tetangga terdekat. Biasanya aku hanya membantu ibu sesekali di dapur.
Bayangan
akan mereka timbul begitu saja ketika mendengar suara takbir menggema
di rumah kontrakanku. Sedang apa mereka di sana? aku ingin pulang.
Sayangnya, tak ada rumah lagi bagiku untuk pulang. Jadi untuk apa pulang
jika tak ada rumah lagi untuk pulang? Ayah ibu? sedang apa mereka di
rantauan? Adikku? aku betul-betul kagum pada adikku yang masih sanggup
merayakan idul adha sendiri. Apa mungkin dia sama seperti aku? bergumam
di beranda rumah, dan terdiam karena rindu menyuluh hatiku begitu dalam?
entahlah.
Aku beristigfar beberapa kali.
Terkadang aku kalut saat mendapati situasi yang seperti ini. Merayakan
momen-momen penting tanpa hadir di tengah-tengah keluarga. Apalagi saat
melihat temna-teman yang pada sibuk mudik di kampung masing-masing.
Sungguh, aku sangat iri dengan mereka.
Mengapa
aku sendiri di sini? aku juga ingin mencium tangan kedua orangtuaku
setelah shalat idul adha, akupun juga ingin mencicipi masakan ibu di
dapur, merasakan aroma dan asapnya mengepul di dapur. Aku juga ingin
membantu ayah menyiapkan segala keperluan hari raya, mungkin membantunya
mengambil kelapa di kebun, atau membantunya menganyam ketupat.
Tapi semua hanyalah bayang masa lalu. Mengingatnya hanya akan menambah peluh rindu di hatiku.
Sekali
lagi aku melihat bintang-bintang di langit, mencari-cari satu bintang
yang sendirian. Aku melihat satu bintang di ujung sana, ia sendirian.
Terpisah bersama bintang-bintang lain. Tapi, hey lihat. Ada juga
bintang-bintang lain yang sendirian, mereka terpisah jarak. Mugkinkah
itu sama seperti diriku? Tak hanya aku yang mengalami, mungkin ada orang
lain di luar sana yang juga menelan getirnya rindu di malam sebelum
idul adha. Atau mungkin juga ada yang lebih parah.
Kamu
benar. Aku tak sendiri. Tak seharusnya aku bertopang dagu di beranda
rumah ini. Aku memang rindu dengan mereka. Rindu karena suara takbir
mengingatkanku pada suasana kampung halaman, senyuman ayah-ibu, dan
kebandelan adikku.
Aku segera bangkit dari
tempat dudukku di beranda rumah. Bukan saatnya bertopang dagu lama-lama.
Malam ini biarlah suara gemuruh takbir menyulut rinduku pada mereka.
Saatnya ikut bertakbir. Biarlah dalam takbir suara rinduku menyelip di
antara takbir-takbir malam sebelum hari raya idul adha. Agar mereka
tahu, bahwa aku juga rindu.
Namaku Alyssa.
Karena melanjutkan sekolahku di ibu kota, aku terpaksa meninggalkan
kampung halaman. Sudah tiga tahun aku di sini. Itu berarti sudah enam
kali perayaan idul fitri dan idul adha kurayakan tanpa mereka di
sisiku.Aku juga tak bisa pulang. Ayah-ibuku sama dengan diriku. Mereka
ada di tanah orang nun jauh di sana. Bedanya mereka berpeluh keringat di
sana karena kerja, dan di sini, aku pun berpeluh keringat karena
berfikir. Setidaknya pada saat aku betul-betul belajar.
Selamat hari raya idul adha, mama papa. I love you. Maafkan anakmu ini.
0 komentar:
Posting Komentar