Tepat pukul 06.00 dini hari, nenek dengan sigap memerhatikanku yang
berdiri berkacak pinggang di depan cermin. Aku hanya berdiri mematung
dengan ekspresi wajah yang cemberut. Bau minyak kemiri di rambutku
terasa sangat menyengat di hidungku. Tak bisa kutolak aksi nenekku. Aku
harus ke sekolah. Meski hatiku bercokol karena bau minyak kemiri itu,
aku memilih diam. Titah sang nenek tak bisa kuabaikan.
***
Panggil
aku Delia. Sebuah nama yang disematkan padaku sejak lahir. Tentu saja
itu bukan nama pemberian Ayah Ibuku. Delia begitu nama sapaanku adalah
nama pemberian dari nenekku. Aku memilki enam saudara termasuk diriku.
Tiga saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki. Cukup hebat bukan,
kami berpasang-pasangan. Takdir memilihku menjadi anak bungsu. Karena
dilahirkan dari keluarga sederhana, nenek memutuskan mengasuhku sejak
kecil.
Orangtuaku tentu tidak keberatan.
Jarak rumah nenek dan orangtuaku hanya terpisah satu desa. Cukup
mengendarai angkot umum kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke
rumah nenek. Itulah mengapa, aku lebih dekat dengan nenekku.
Namanya
Aminah. cukup keren bukan? nama ini sangat bersejarah dalam Islam .
Seperti nama ibu nabi Muhammad. Jika nenek menyebutkan semua nama-nama
saudara dan kerabat dekatnya, hampir semuanya terdengar familiar dengan
nama-nama orang dahulu. Ada juga saudara nenekku yang bernama
Ibrahim,Ahmad,Siti, dan lain-lain. Sangat berbeda saat aku pertama kali
masuk sekolah di SD Pratiwi. Mereka yang sebaya denganku memiliki
nama-nama unik. Bahkan ada satu siswa di kelasku bernama Adriano
Cassanova. Mengucapkannya saja aku terbata-bata. Apalagi saat
kuberitahukan nenek. Ia seperti mengucapkan mantra-mantra saat aku
memintanya menyebut nama teman-temanku.
Kata
nenek suatu hari, kakek meninggal setelah enam tahun pernikahan
mereka. Nenek pada saat itu sudah memiliki tiga anak yang masih kecil.
Yang paling tua baru berusia dua tahun. Dialah mamaku. Saat kakek masih
hidup, kebutuhan nenek masih bisa tercukupi. Saat itu masih sekitar
tahun 70-an. Desa yang ditinggali cukup jauh dari kota. Penghasilan
utama bagi warga saat itu adalah bertani. Tapi, suami nenek adalah
seorang pedagang yang dagangannya selalu laku setiap hari. Sangat cukup
penghasilannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bahkan terbilang
memiliki penghasilan di atas rata-rata.
Di
masa muda, nenek mengabdikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga setelah
menikah. Tak ada tuntutan yang mengharuskan suaminya bekerja keras,
Baginya, asal kebutuhan sehari-hari tercukupi dan bisa melihat
anak-anaknya dalam keadaan sehat. Meski memiliki tiga anak, dua di
antaranya laki-laki, nenekku yang masih muda kala itu sangat telaten.
Itu terbukti bagaimana ia bisa merawat anak-anaknya tanpa bantuan dari
orang lain. Terlebih lagi saat nenekku yang muda kala itu sedang
mengandung.
Aku hanya diam terpaku
mendengar cerita nenek di serambi rumah yang sangat menyukai nostalgia.
Dan akulah satu-satunya pendengar nenek jika ingin bernostalgia,
mengenang masa-masa mudanya. Aku yang masih SD saat itu terkadang
menyergitkan dahi saat mendengar ceritanya. Ada yang bisa kucerna dan
ada yang tidak. Namun, semuanya terekam rapi dalam memori ingatanku.
Yang belakangan kutahu apa arti semua cerita nenek padaku saat aku
beranjak dewasa.
Kebahagiaan nenek memiliki
suami yang katanya romantis, terenggut begitu saja. Kabar bahwa kakek
meninggal ditimpali pohon besar membuat sekujur tubuh nenek kaku
seketika. Padahal ia sedang mengandung. Nenek hanya bisa menangis
sejadi-jadinya di serambi rumah saat tetangga memberitahukan perihal
kematian kakek.
Kata nenek, kejadian itu
cepat berlalu secepat kilat. Baru kemarin rasanya ia mengecap manisnya
berumah tangga, memiliki anak-anak yang lucu, belajar menjadi isteri
yang bisa mengayomi suami serta memiliki harapan besar untuk kehidupan
nak-anaknya kelak. Namun, secepat kilat peristiwa itu menyayat-nyayat
perasaan nenek. Karena menikah muda, dan ditinggal suami yang terasa
begitu cepat, mengharuskan nenek untuk tetap bertahan. Sumber harapannya
memang telah pergi untuk selamanya, namun saat diambang putus asa,
suara tangis anak-anaknya memecah kesunyian. Nenek bangkit kembali. Ia
masih memiliki harapan baru. Harapan anak-anaknya.
Menyandang
status sebagai janda dan memiliki tiga anak yang saat itu sedang
mengandung tidak mudah bagi nenek. Ia berfikir keras bagaimana cara
menghidupi anak-anaknya kelak. Sementara, harta peninggalan kakek tak
cukup dipakai selama dua tahun. Belum lagi gosip-gosip yang harus
ditanggung nenek karena status sosialnya sebagai janda. Semua itu, harus
nenek pikul sendiri. Ia tidak mau merepotkan keluarganya apalagi
mertuanya. Beruntunglah nenek memiliki sepupu yang saat itu dianggapnya
sebagai adik. Hanya beda lima tahun dari nenek. Ia dengan senang hati
membantu mengasuh anak-anak nenek jika ingin berdagang di pasar.
Begitulah
pekerjaan nenek setelah ditinggal suaminya. Ia mengikuti jejak kakek
yang selama ini menghidupi kebutuhan rumah tangganya dengan berdagang.
Bedanya, nenek tidak bisa bertani. Dalam situasi seperti itu, insting
nenek sebagai perempuan dalam mengelolah uang akhirnya muncul secara
tiba-tiba. Awalnya memang berat, kata nenek. Tapi, demi anak-anaknya
nenek tak pernah mengeluh. Ia harus kuat menghadapi itu semua. Meski tak
seberapa.
Sampai sekarang pun, nenek
masih suka rutin ke pasar untuk berdagang. Walau tak selincah dulu. Kata
nenek, selagi ia masih kuat berjalan. Nenek tak pernah lagi menikah
setelah kematian kakek. Ada yang pernah melamarnya bahkan sampai tiga
kali. Tapi nenek menolak secara baik-baik.
"nenek
tidak berfikir untuk menikah lagi nak setelah kematian kakekmu. Bagi
nenek menikah itu sekali. Jatuh cinta pun hanya sekali. Bagi nenek,
kebahagiaan itu sudah cukup dengan melihat anak-anak nenek, termasuk
ibumu. Dan tak ada yang bisa seperti kakekmu itu."
Bulir-bulir
air mata nenek perlahan jatuh, menuruni wajahnya yang sudah mengeriput.
Dan aku hanya bisa memandangnya. Ingin kuhapus bulir-bulir air mata
itu. Sayangnya, aku hanya diam separuh mengerti apa yang diceritakan
oleh nenek.
Begitulah setiap sore di
serambi rumah. Nenek tak pernah berhenti bercerita. Kalau bukan
mengenang kisah masa lalunya, nenek akan menasehatiku dengan kisah-kisah
orang terdahulu, terkadang diselingi kisah para nabi.
Saat masih
SD nenek tak pernah berhenti mengantarku ke sekolah. Jika bertepatan
saat ia harus ke pasar berdagang, terpaksa aku bangun pagi dan tiba di
sekolah pagi-pagi sekali. Bisa dibilang aku sangat manja dulu. Bukan
hanya manja, tapi sejujurnya aku tak pernah bisa mandiri ke sekolah
sendiri karena takut. Takut melewati rumah tetangga-tetangga yang
memelihara anjing dan angsa yang pernah mengejarku.
Pernah aku
membual tentang buaya saat nenek mengantarku ke sekolah. Aku memberikan
nenek teka-teki. Jika diberi pilihan untuk menembak induk buaya yang
sedang mengandung, manakah yang akan duluan ditembak, induk buaya
ataukah anak buaya yang masih dalam perutnya. Nenek hanya tertawa
mendengar teka-tekiku. Gores-gores keriput di wajahnya sangat terlihat
jelas saat nenek tertawa, maka akan kelihatan gigi-giginya yang sudah
lepas satu per satu.
***
Sekelebat
ingatanku melayang pada sepuluh tahun lalu. Masa kanak-kanak yang
dipenuhi gelak tawa renyah seorang perempuan tua yang sudah keriput.
Masih di serambi rumah yang sama. Aku duduk di kursi yang sama. Bedanya,
kursi ini sudah sangat tua. Kalau saja berat badanku di atas rata-rata,
maka otomatis kursi ini akan patah. Aku menoleh ke samping. Ku
pandangi kursi kosong itu. Tempat dimana nenek sering duduk menceritakan
masa mudanya dulu.
Ah cepat sekali waktu
berlalu. Bukan hanya nenek yang merasakan kehilangan kakek di masa
mudanya, aku juga mengalami hal yang sama. Kehilangan. Kehilangan kasih
seorang nenek di masa remajaku.
Kali ini,
bukan bulir-bulir air mata nenek yang menjadi penutup cerita di sore
hari. Kali ini, entah mengapa bulir-bulir air mataku jatuh mengenang
nenek yang telah pergi. Bulir-bulir air mata yang menyentuh pipiku, jauh
lebih deras dari bulir-bulir air mata nenek dahulu.
"Nek, maafkan aku. Aku tak setegar dirimu."
(07 SEPT_16)
note: cerpen ini juga saya unggah di https://www.inspirasi.co/post/details/20983/wajah-keriput-nenekku
0 komentar:
Posting Komentar