Kau benar. Terkadang, aku merasa bukan siapa-siapa. Dan parahnya, aku telah mempecundangi diri sendiri.
*****
Hari yang kunanti-nantikan akhirnya datang juga. Semalam, aku sempat gelisah sebelum tidur. Bagaimana tidak, besok aku akan ketemu dengan penulis yang belakangan ini jadi favoritku. Oh iyya, aku juga sudah memikirkan banyak hal. Kau tau, aku mau membaca bukunya untuk pertama kali. Selama ini, aku hanya membaca karya-karyanya melalui media sosial. Itu pun, baru separuh. Namun, aku terpaksa menelan rasa kecewa.
Hujan di sore itu, menunda langkahku untuk pergi. Berkali-kali kulirik jam, hujan tak kunjung reda. Aku bersyukur tidak sendiriam datang ke sana. Kuhubungi temanku untuk menemaniku dan dia bersedia. Kau tau, ada sesuatu yang mengharuskanku mengajak teman ke sana. Sesuatu yang membuatku ragu melangkah kaki menuju tempat itu. Namun, rasa penasaranku dan ingin memiliki buku itu telah menggebu-gebu memenuhi hasrat hatiku.
Tiga puluh menit berlalu. Kegiatannya sudah dimulai. Sial! Aku datang terlambat. Aku tiba di sana bersama temanku. Sayangnya, acaranya sudah berlangsung. Kulirik jam di hapeku. Sudah 45 menit sejak dimulainya acara itu. Aku betul-betul terlambat. Aku berhenti tepat di depan tempat itu. Tak ada celah untuk ikut bergabung. Semuanya melingkar. Host-nya sudah berbicara. Aku sempat melihat penulis itu. Dan ya Tuhan! Bagaimana mungkin aku langsung bergabung, saat semuanya terlihat khusyuk mendengar penulisnya berbicara. Aku melihat ke arah peserta, tak ada celah untuk ikut. Semua kursi sudah full. Ingin rasanya aku berteriak, menyesali keterlambatanku.
Aku melirik temanku, dia pun sama sepertiku. Nggak punya nyali untuk ikut gabung. Lima belas menit berlalu. Aku berharap akan ada panitia yang melihat kami berdiri di luar, lalu memanggil kami bergabung. Sia-sia. Tak ada panitia. Semuanya sibuk menyimak sang narasumber. Perasaanku ambruk seketika. Aku yang sangat antusias tiba-tiba jatuh terperosok begitu saja.
Aku berusaha mengendalikan diriku. Waktu kian memburu, sudah hampir magrib. Temanku sudah mendesak. Aku nggak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia harus menyusul temannya. Aku sudah sangat bersyukur dia mau menemani aku. Padahal temanku sendiri terpaksa mengulur janjinya demi menemaniku hadir di acara itu.
Seketika, aku berusaha memberanikan diri. Walau sebenarnya aku rasa semangatku berkurang 50%. Aku melangkahkan kakiku, selangkah. Dan, deg! aku menghentikan langkahku. Seseorang yang kukenali hadir di acara itu. Seseorang yang tidak ingin kutemui. Entah kenapa. Namun, aku merasa kehadiranku hanya akan menjadi boomerang baginya. Atau, dia akan mengira bahwa aku hanya akan mencari perhatian. Oh tidak! pikiranku dipenuhi oleh asumsi-asumsi yang membuatku ngilu.
Aku sudah memikirkan ini. Seharusnya aku memperhitungkan itu. Aku tahu, dia pasti hadir di acara itu, tapi sungguh aku kira bisa melewatinya. Rasa penasaranku dengan penulis dan bukunya jauh lebih besar. Tapi, tak kusangka, nyaliku seketika ciut.
Andai saja aku tidak datang terlambat, aku tak akan menarik perhatian saat bergabung di acara itu. Tapi? keadaan berkata lain.
Aku urung melanjutkan langkahku. Kubalikkan badanku dan menggamit tangan temanku.
"Kita pulang."
Temanku hanya diam dan memandangku aneh. Jauh dari lubuk hatiku aku merasa malu dengannya. Aku tahu mungkin yang ada dalam pikirannya, aku ini pengecut. Dan itu benar. Senja saat itu sangat kelabu. Aku melangkahkan kakiku dengan perasaan ngilu menjalar keseluruh tubuhku. Rasanya ambruk.
***
Kosong. Begitu kira-kira perasaanku saat sampai di kos. Aku melihat Yuki duduk di dalam kamarku. Hari ini, dia kurang bersemangat. Malam ini, tak ada yang memasak di dapur, artinya tak ada makan bareng. Akupun demikian. Kurebahkan tubuhku di kasur. Pikiranku menerawang, mengingat kembali kejadian itu. Aku pulang dengan tangan hampa, juga dengan harapan yang kosong.
Keinginanku untuk menjadikan buku itu sebagai my first *** kini sirna begitu saja. Aku tak punya nyali menghadapi sesuatu yang kuhindari. Dan lagi, aku merasa sangat pengecut. Senja itu, membuatku menelan kepengecutanku sendiri. Bagaimana bisa aku mewujudkan impianku jika hal seperti itu tak bisa kuhadapi?
Bulir-bulir air mata perlahan mengalir di pipiku. Yuki tak Tahu itu. Akupun tak berniat menceritakannya. Yuki sedang sakit. Dan aku tak tahu harus berbuat apa. Pikiranku berkecamuk.
***
Aku melirik tulisan yang menempel di dinding kamarku. Untuk sejenak, aku memikirkan saat-saat pertama kali berpindah di kos ini. Aku merasa memiliki hubungan batin dengan tempat ini. Kadang aku berfikir, semakin sering aku berada di kos ini, sebesar inilah duniaku. Yah, memang duniaku sebesar ini. Aku tak tahu banyak tentang dunia luar. Kau benar, wajar saja jika aku ini kurang gaul, jika tak ada Yuki, Fay, Nita, dan Three Tin, aku nggak tahu seperti apa datarnya hidupku.
Tulisan Ayah Ibu yang terlihat lebih mencolok dari tulisan lain seakan menilik lubuk hatiku. Gambaran tentang wajah dan perjuangan mereka ibarat bahan bakar yang tak pernah habis. Jika aku galau seperti ini, merasa sangat kosong, pengecut, dan hal-hal negatif lainnya, Ayah Ibu lah motivasi terbesarku.
Setelah mereka, keluarga keduaku saat ini adalah teman-temanku di kos. Canda dan tawa mereka membuatku bahagia. Kekecewaanku pada diri sendiri karena tidak berhasil mendapatkan buku incaranku telah menguras banyak emosiku. Aku memang sedih, sangat malah, Tapi, aku nggak boleh bersedih terlalu lama.
Aku berharap, hari esok akan lebih baik. Kupikir, kisah ini barulah permulaan.
Picture taken at https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/56/f4/c5/56f4c50c899a075d5b91f3fbdad8a7c9.jpg
semangat kak...
BalasHapuskerasa banget perasaan sedih di tulisan ini
BalasHapuscerbernya keren mbak
ditunggu lanjutannya ^_^
hehe mba Ria peka bgt, mksh kak udah dbaca :) Insya Allah :)
Hapus