--------------
"Kak Edel, bangun... bangun..." Seseorang mengetuk keras pintuku. Aku tak tahu ini jam berapa, yang jelas lagi dan lagi aku bangun telat. Kubuka mataku perlahan, kuraih ponsel yang tak jauh dari tempat tidurku. Astaga! sudah jam 11.00 siang. Aku menggerutu dalam hati. Mengubah kebiasaan ini sungguh sulit. Berjam-jam telah kuhabiskan karena tidur pulas melewatkan nikmatnya memandang embun di pagi hari. Buru-buru aku menepis penyesalanku yang bangun kesiangan. Suara ketukan keras Yuki telah membangunkanku. Dan kenapa pula dia terdengar panik?.
"Kak Edel, cepat buka pintunya. Kak Fay... kak Fay." Tanpa berfikir lama, aku membuka pintu kamar, kulihat wajah tempias Yuki
.
"Ada apa yuki?" Aku bertanya sambil menguap. Rasa kantukku masih ada meski bangun kesiangan.
Yuki tak menghiraukan pertanyaanku. Setelah kubuka pintu kamar, Yuki menunjuk arah dapur, tak jauh dari kamar. Yuki berlari ke arah dapur dan hampir saja aku tak bisa bernafas setelah melihat apa yang ada di arah dapur.
"Astaga! Fay pingsan lagi!" Deg... jantungku terasa terpompa lebih cepat. Sudah sebulan lebih saat kami semua kembali menghuni kos setelah lebur semester, selama sebulan ini tak pernah ada kejadian aneh yang berarti. Tapi hari ini? Fay pingsan lagi.
Aku dan Yuki memapah Fay. Cukup berat. Tapi, adrenalin kami meningkat. Kami membaringkan Fay di dalam kamarnya. Aku masih diliputi tanda tanya. Aku sendiri melihat Fay tergeletak di dekat dapur, kacamata yang dia pakai pecah. Apa separah itu saat Fay jatuh pingsan?.
"Yuki, kenapa Fay bisa pingsan? kamu liatnya kapan?" aku terus bertanya pada Yuki, jauh dari lubuk hatiku aku memendam kecemasan. Jangan sampai kejadian lama itu terulang kembali.
"Aku nggak tau kak, aku turun di bawah buat bukain pintu, ada teman yang datang, pas turun, aku melihat ke arah dapur, eh pas liat ke dapur, aku liat kak Fay tergeletak. Makanya aku mengetuk keras pintu kak Edel, jangan sampai..."
Aku menatap cemas. Fay masih belum sadarkan diri. Sialnya, Yuki harus keluar menemani temannya. Sesuatu yang sangat penting dan nggak bisa dia tunda. Dengan berat hati Yuki meninggalkan aku dan Fay.
"Maaf kak, aku harus pergi sebentar. Kak Edel jangan khawatir ada Three Tin yang menemani."
"Memang saat Yuki pergi, aku ditemani oleh Three Tin (baca part 1), tapi itu tidak mengurangi rasa cemasku. Mereka anak baru, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Fay. Ya ampun, saat-saat seperti ini aku jadi paranoid. Padahal dalam ajaran agamaku, aku nggak boleh seperti ini.
Setengah jam berlalu. Fay masih pingsan. Kali ini, ekspresinya berbeda, ada raut di wajahnya yang tak seperti biasa. Ia mengomat-ngamitkan sesuatu tapi entah itu apa. Kadang, ia tetap tenang tanpa ekspresi, dan hal yang membuatku merinding, saat dia cekikikan tertawa, walau hanya sebentar, aku sudah menebak. Tak perlu lama-lama. Fay kembali kambuh. Akankah dia akan kesurupan lagi?
Istilah ini kami pakai, saat mendapati seseorang yang dirasuki makhluk halus, Awalnya aku sulit percaya, tapi itu ada dalam ajaranku juga, islam mengatakan bahwa ada makhluk tak terlihat. Jin dan malaikat. Malaikat adalah makhluk yang tercipta dari cahaya, malaikat hanya senantiasa berdzikir kepada sang Mahakuasa. Berbeda lagi dengan jin, ia sama dengan manusia, punya kehidupan. Bedanya, jin dapat melihat manusia. Itu yang aku tahu. Percaya atau tidak, makhluk itu memang ada. Dan hal yang masih menjadi misterius bagiku, kenapa makhluk seperti itu mengganggu manusia? kenapa juga selalu mengganggu Fay?
Suara jeritan Fay membuyarkan lamunanku. Seketika aku memegang kuat-kuat tangan Fay. Three Tin juga ikut membantu. Dalam hati, aku tak berhenti beristigfar. Aku tak tahu bagaimana cara mengobati orang yang kesurupan. Aku hanya mengambil segelas air putih, kubacakan ayat kursi dan tiga qul (an-Nas, al-Falaq, al-ikhlas). Seperti yang dilakukan oleh salah satu keluarga Fay saat terakhir kali kesurupan.
Kupercikkan air putih itu ke badan Fay, lalu kuusapkan di wajahnya. Sejenak, suasana hening. Mungkin obatnya nggak terlalu manjur, mengingat ketakutanku yang tak bisa kutampik. Tapi, kali ini Fay nggak terlalu meronta-ronta. Tiga puluh menit kemudian, Fay sadar dari pingsannya. Aku baru bisa bernafas dengan lega. Seolah semua beban telah terangkat dari bahuku.
"Fay, gimana perasaanmu? kamu udah baikan? kok bisa kena lagi? memangnya ada apa?
Seperti biasa aku nggak bisa menahan rasa penasaranku. Kutanya Fay yang sedang memperbaiki posisi duduknya.
"Begini, penunggu rumah ini sedang menegur kita. Sebenarnya saat aku tidur sendiri di kamar, aku bermimpi. Dia datang di kamarku, di bilang kalau kita semua terlalu ribut. Dan dia sudah menegur salah satu dari kita. Katanya, dia menyentuh pundah salah satu dari kita."
Deg, kali ini debaran jantungku semakin tak karuan. Apa yang dikatakan Fay ada hubungannya dengan cerita Yuki. Sehari sebelumnya Yuki pernah bilang saat dia mau tidur dia merasa ada yang aneh. Seolah ada yang memegang pundaknya saat berbaring di samping Nita. Dan saat dia menoleh, tak ada siapa-siapa. Sangat aneh.
Aku bergeming. Memikirkan perkataan Fay dan kejadian Yuki. Nggak mungkin semua hanya kebetulan. Cepat-cepat aku menampik pikiran itu. Aku nggak boleh paranoid. Syukurlah Fay sudah sadar. Kami semua kembali ke kamar masing-masing. Aku melihat sekilas ke arah Fay. Ada kecemasan, tanya yang begitu berkecamuk dalam pikiranku.
***
Pukul 23.00 malam senin
"Yuki... perut aku sakit... duh.." Fay yang sedari tadi mengeluh tentang perutnya yang sakit.
Sebenarnya bukan hanya Fay, aku dan Yuki juga mengalami hal yang sama. Sakit perut. Namun, tak separah Fay.
"Apa ini gara-gara makanan yang kita makan tadi yah? tapi apa? bubur kacang ijo itu atau gorengan yah?" Aku menatap mereka, memastikan jika penyebab sakit perut kami gara-gara makanan.
"Nggak tau juga kak, bisa jadi." Yuki menjawab pertanyaanku seadanya sambil menatap layar laptop.
Aku yang juga asyik menatap layar laptop menunggu respon Fay yang berbaring di tempat tidurku. Rasanya hening, aku menoleh ke arah Fay. Dan astaga!!!
"Yuki, Fay pingsan lagi. Lihat, dia nggak tidur, apalagi baring. Masa orang tidur gitu posisinya."
Aku dan Yuki mengguncang tubuh Fay. Tapi, dia tidak sadar. Kucoba mencubit pipinya, ia tidak merespon. Aku dan Yuki saling bersitatap.
"Bagaimana ini?" tanyaku pada Fay.
"Nggak tau juga kak, tapi kayaknya bukan itu deh, kali aja dia pingsan gara-gara sakit perut."
Yuki memang selalu tenang saat menghadapi situasi seperti ini, berbeda dengan aku yang selalu panik.
"Gimana kalau... em... yaudah deh Yu, jangan-jangan cuma karena sakit perut, tapi bagaimana kalau...."
"Kak Edel, jangan parno' dulu. Yang terpenting kita kasih kak Fay minyak kayu putih dulu, perbaikin posisinya."
Aku hanya mengangguk pelan. Membantu Yuki memperbaiki posisi Fay yang tidak sadarkan diri.
25 menit kemudian
"Yuki, ini udah hampir sejam. Fay belum sadar juga, kita harus apain ini anak, ya ampunnn..."
Aku tak bisa lagi menahan rasa cemasku. Yuki yang dari tadi tetap tenang kini juga sudah ikut cemas.
Saat itu, kami sengaja tidak memanggil Nita dan Three Tin. Kami pikir bisa mengatasinya, lagipula sepertinya mereka sudah tidur semua. Hanya Nita dan sepupunya yang masih terjaga.
"Ada apa kak? kak Fay kenapa?" Nita yang baru saja turun, datang ke kamar. Nita memang tidak tahu kalau Fay pingsan. Aku khawatir mengganggu dia yang kebetulan sepupunya datang berkunjung.
10 Menit berlalu
Ada yang aneh. Fay tiba-tiba mengeluarkan suara aneh. Dia mengomat-ngamitkan sesuatu yang entah apa. Lalu suaranya berdesis seperti ular.
"Astaga, Fay! Yuki, pegang tangannya. Dia meronta-ronta."
Aku, Nita dan Yuki memegangi kuat-kuat kaki dan tangan Fay serempak. Aku sudah panik. Suasana di kos sangat mencekam, sudah tengah malam. Sunyi.
Sepupu Nita akhirnya turun. Ada sedikit rasa lega. Setidaknya ada laki-laki yang bisa membantu kami. Maklum, semua penghuni kos adalah perempuan. Kebetulan malam ini sepupu Nita datang menjenguk. Kak Ivan sebenarnya sudah mau pulang. Namun, dia melihat kami memegangi Fay kuat-kuat dan mengurungkan niatnya.
Untuk pertama kali, aku melihat sendiri Fay seperti mengejang. Tangannya sangat dingin, kakinya sangat kaku dan yang membuatku tercengang seolah ada sesuatu di atas kakinya yang sudah mengeras seperti kayu.
Nggak mungkin dia bercanda jika kondisinya seperti ini. Aku masih diliputi kecemasan. Kasian temanku ini, dia akan merasakan sakit seluruh badan jika sudah sadar nantinya.
Tenaga kami tidak cukup. Aku, Nita, dan Yuki tidak sanggup melawan Fay yang meronta. Akhirnya Kak Ivan turun tangan. Nggak lama setelah itu, Three Tin juga masuk di kamarku. Mereka baru tahu kalau Fay pingsan lagi.
"hihihi....." suara cekikan itu sungguh membuatku merinding. Bayangkan, Fay yang berdiri meronta saat kami pegangi, tertawa cekikikan. Seolah menganggap kami dengan enteng. Ada rasa takut menjalar ke seluruh tubuhku. Kulihat Yuki memegang tangan Fay kuat-kuat, begitupun Nita menopang tubuh Fay. Three Tin juga ikut membantu.
Aku hampir kalap. Sudah juam dua lewat. Fay masih belum sadar. Dan baru kali ini dia meronta sekuat ini. Dia bukan dirinya lagi. Dia berdesis seperti ular. Dan oh Tuhan... mengapa pula kaki dan tangannya terasa kaku seperti kayu yang siap dipatahkan?
Kami berkali-kali berucap istigfar dalam hati. Suara al-Quran di ponselku kunyalakan dengan keras. Ada perasaan bersalah menyelinap dalam hatiku. Malam itu sangat mencekam. Bulu kudukku merinding. Kulihat skeliling kamar, adakah sesuatu di sana berdiri menatap mengawasi kami? seketika kurasakan bayangan melintas di sampingku.
#tobe_continued
-------------
27 Sept 16
Picture taken at https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/69/c2/fe/69c2fec91528b211cf500d7241daf479.jpg
0 komentar:
Posting Komentar